Mereka adalah pembatik dari Kota Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Mereka berkarya di bawah atap Rumah Batik Andalan di area kompleks PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
![]() |
Berdiri pada 2014, Rumah Batik Andalan ini awalnya diikuti oleh 50 ibu-ibu dari empat desa. Namun seiring dengan waktu, para anggotanya 'berguguran' karena kesibukan masing-masing. Mereka yang masih bertahan kini kurang dari setengahnya. Sebelumnya mereka mendapat pelatihan agar batik yang diproduksinya memiliki nilai jual tinggi.
"Diajak ke Yogyakarta, didatangkan juga pembatik dari Yogya ke sini. Kita banyak kekurangan. Dari desain, dan warna. Kita belajar lagi ke Pekalongan. Kita dikasih kepercayaan bikin syal, masih kurang juga, kita diajak ke Padang. Ada juga guru dari Solo supaya warnanya tidak luncur, cerah, dan berbagai macam motif. Sekitar 1 tahun kita belajar," ungkap Hari Fitri Rahmadani salah satu pembatik saat ditemui detikcom Senin (6/3/2017) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi sekarang kita sudah mandiri. Modal awalnya sekitar Rp 50 juta," tuturnya.
![]() |
Menurut Fitri, para ibu rumah tangga ini mendapat upah dari tiap lembar yang dikerjakannya sebesar Rp 100-200 ribu. Mengenai harga jual batik, untuk batik tulis dibanderol Rp 350-500 ribu dan semi tulis Rp 200-300 ribu.
"Kalau pendapatan saya per bulan Rp 2-2,5 juta, bersih. Banyak ibu-ibu bisa kuliahin anaknya, ada juga yang kredit rumah atau kredit motor," kata Fitri yang suaminya kerja serabutan ini.
Fitri menjelaskan ada lima motif yang jadi andalan di rumah batik tersebut yakni Bono, Akasia, Timun Suri, Ekaliptus dan Lakum. Semua motif tersebut memiliki makna tersendiri.
![]() |
Misalnya Bono diambil dari gelombang Bono yang terkenal di Sungai Kampar. Akasia dan Ekaliptus diambil dari nama pohon yang juga sebagai bahan pembuat kertas. Sementara Timun Suri dan Lakum adalah jenis sayuran yang banyak digemari oleh masyarakat melayu.
"Batik Pelalawan memang warnanya lebih berani. Motif-motif ini dipatenkan, kita pengennya orang tau ini ciri khasnya Pelalawan. Jadi orang ngga bisa sembarang pakai motif batik kita," jelasnya.
"Harapanya batik kita makin dikenal banyak orang, kita juga sukses, kita juga bisa merangkul masyarakat lainnya," lanjut Fitri.
![]() |
Mengenai siapa pembelinya, Fitri mengatakan biasanya mereka yang membeli awalnya adalah tamu-tamu PT RAPP yang datang berkunjung, dan tamu dari pemda setempat. Selain itu, Rumah Batik ini juga sering ikut pameran di berbagai daerah.
"Orang pertama tengok batik kita lucu ya, aneh, motifnya besar, warna berani, mereka tanggapannya luar biasa. Di Solo kita bawa batik kita, di sana gudangnya batik, bagus-bagus, tapi batik kita juga ngga kalah, banyak juga beli buat oleh-oleh," pungkasnya. (ega/dna)