Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menilai fenomena tutupnya sejumlah gerai pusat perbelanjaan modern tak sejalan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi RI.
"Jadi memang ini agak anomali antara data makro dengan mikronya. Kan memang sebetulnya data makronya bagus-bagus saja, ekonomi masih tumbuh walaupun tidak seperti yang direncanakan, tapi tetap tumbuh, lalu dari segi cadangan devisa naik, penurunan suku bunga. Jadi Makronya cukup baik, tapi kenapa mikronya jadi jelek begini? Harusnya kalau makronya bagus, mikronya bagus," kata Hariyadi kepada detikFinance, Jakarta, Senin (18/9/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini terjadi penyusutan tenaga kerja formal, ini signifikan. Jadi orang yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan aman kan di pekerja formal, nah selama ini kebijakan kita mengganggu kebijakan formal," kata Hariyadi.
"Sehingga daya beli masyarakat tidak terdistribusi secara merata. Kalau pekerja formal mereka masih punya uang, mereka enggak ada masalah dengan daya beli, tapi perkaranya jumlahnya semakin kecil, nah pekerja non formal itu yang semakin besar," jelas dia.
Dihubungi terpisah Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Roeslani, menambahkan lesunya industri ritel modern disebabkan oleh tingkat kepercayaan masyarakat dalam melakukan pembelian. Rosan menilai, masyarakat saat ini masih menahan diri untuk berbelanja.
"Ada beberapa hal, salah satunya, bukannya orang enggak punya duit, tapi memang orang enggak spending saja. Duit ada, tapi saya lihat karena psikologis, faktor kepercayaan. Karena pertama, duit di bank meningkat, dana pihak ketiga makin meningkat. Tapi (masyarakat) menahan untuk melakukan pembelian dan misalnya dulu pembelian sekaligus banyak, kalau dulu untuk sebulan, mungkin sekarang untuk seminggu ada beberapa hari, jadi kalau saya melihatnya masalah confident," terangnya. (dna/dna)