Demikian hal tersebut dikemukakan Mantan Direktur Utama Pertamina Ari H Soemarno di sela-sela acara Polemik: Pertamina Antara Bisnis dan Politis di Warung Daun, Jalan Pakubuwono, Jakarta Selatan, Sabtu (7/2/2009).
"Lambannya transfer teknologi laut dalam, harus dilihat sejarah Pertamina. Dari dulu Pertamina tidak boleh mengambil risiko dari tahun 1976 sampai transformasi di 2001. Akibatnya, Pertamina tidak pernah memiliki lapangan baru," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertamina terlalu banyak setor dividen ke negara. Sebenarnya sejak dulu pendapatan migas itu bisa dipakai untuk kegiatan macam-macam," ujarnya.
Ia mengatakan, sejak dilakukannya transformasi, BUMN minyak itu mulai berani melakukan aksi korporasi yang agresif dengan mencari sumur minyak di laut yang terdalam sekalipun.
"Empat tahun lalu saya ditanya bisa kelola Natuna, saya bilang enggak bisa. Tapi sekarang saya optimis Pertamina bisa, karena kita sudah mulai transformasi," katanya.
Perkembangan lain, saat ini Pertamina sudah memiliki sebagian saham Medco di Lybia. Menurutnya, meskipun berada di luar negeri, tapi cadangannya milik Indonesia. Strategi tersebut mirip dengan yang dilakukan Petronas Malaysia, di Sudan.
Petronas memiliki cadangan 300.000 barel di tempat tersebut, belum lagi di dalam negerinya sebanyak 600.000 barel.
"Bagusnya Petronas, dia punya dana tetapi tidak punya kewajiban yang dibebankan seperti kepada Pertamina," tukasnya.
(ang/dnl)