Saat ini setidaknya ada 115.000 perajin tahu tempe di Indonesia diantaranya 40.000 anggota Kopti yang terdiri dari berbagai wilayah Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Lampung, Pelambang, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Bali.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Inkopti Sutaryo dalam acara Simposium Jagung dan Kedelai di kantor pusat Kadin, di Jakarta, Rabu (29/7/2009).
"Untuk menghadapi era globalisasi yang akan datang para perajin harus bersaing di pasar lokal maupun internasional dengan membuat produk tempe dan tahu yang inovatif secara kualitas dan produksinya," katanya.
Pasar yang potensial bagi produk tempe dan tahu Indonesia diantaranya negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, Thailand, Filipina, dan lain-lain. Namun sayangnya dari 115.000 perajin tempe dan tahu di Indonesia umumnya masih memasarkan produknya di pasar lokal khususnya di pasar tradisional dengan daya tahan produk tidak bertahan lama.
"Produk tahu dan tempe tidak tahan lama, biasanya langsung ke konsumen, kalau pun pasar swalayan harus dimasukan pendingin tapi rasa dan kualitasnya sudah berubah," ucapnya.
Sehingga menurutnya langkah yang harus diambil oleh pemerintah dengan memberikan dorongan kepada pelaku perajin tempe dan tahu dalam memproduksi dengan cara yang lebih inovatif dan berkualitas agar bisa bertahan lama.
Selain itu, kata Sutaryo, saat ini industri tahu tempe Indonesia masih mengalami berbagai kendala, termasuk pasokan bahan baku kedelai yang hampir 70% diperoleh melalui impor, sedangkan 20%-30% berasal dari kedelai lokal. Padahal jika ketergantungan impor tersebut bisa ditekan, produksi tempe Indonesia berpeluang menjadi produk yang bisa berbicara di pasar lokal dan ekspor.
"Bung Karno pernah mengatakan, 'jangan sampai bangsa kita menjadi bangsa tempe' artinya bangsa kita jangan sampai seperti tempe hari ini segar dan besok sudah busuk," ucapnya.
(hen/dnl)