Kelemahan Sri Mulyani di Mata Ali Wardhana

Kelemahan Sri Mulyani di Mata Ali Wardhana

- detikFinance
Selasa, 08 Des 2009 16:28 WIB
Depok - Menteri Keuangan Sri Mulyani dinilai sukses dalam hal mengelola kebijakan makro ekonomi. Namun di mata mantan Menteri Keuangan era orde baru Ali Wardhana, Sri Mulyani masih memiliki sejumlah kekurangan. Apa saja?

Ali Wardhana mengungkapkan, kelemahan utama Sri Mulyani adalah tidak mengutamakan sektor riil dalam menggerakan perekonomian. Padahal menurutnya, sektor riil merupakan inti dari pembangunan disamping dengan kebijakan makro ekonomi yang harus jitu.

"Disamping kebijakan-kebijakan makro ekonomi yang sudah baik, saya kira Bu Ani sudah bagus kinerjanya terbukti dari cadangan devisa yang tinggi dan inflasi yang juga rendah," ujar Ali Wardhana dalam kuliah umum Senior Lecturing Ekonomi Moneter di Auditorium FEUI Depok, Selasa (08/12/2009).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Namun di sisi sektor riil masih ada yang belum terpecahkan yaitu pengangguran dan poverty (kemiskinan) ini belum bisa dipecahkan oleh Bu Ani," imbuhnya.

Ali membandingkan saat dirinya menjabat sebagai menteri keuangan pada era kepemimpinan Soeharto yang sangat mengutamakan sektor riil.

"Dulu sektor riil di-rule sedemikian rupa seperti diberikan banyak oportunities proyek-proyek atau program misalnya proyek pembangunan desa, irigasi dan SD Inpres," tuturnya.

Karena dari proyek-proyek tersebut orang bisa mendapatkan lapangan kerja yang banyak tanpa harus pergi ke kota terlebih dahulu.

"Pembangunan SD yang diwajibkan di desa-desa juga akan membuat tingkat kemiskinan akan berkurang. Karena pendidikan merupakan bekal dari pengurangan kemiskinan," tambahnya.

Ali menegaskan program-program pembangunan seperti ini kedepan yang harus ditingkatkan guna mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

"Karena masalah pengangguran itu intinya di sektor riil bukan di moneter, dan saat ini pun moneter tidak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah harus membuat program khusus di sektor riil yang mesti ditingkatkan tahun-tahun kedepan," katanya.

Selain itu, Ali menekankan juga pentingnya deregulasi dari sistem perekonomian saat ini yang cenderung mengikuti mekanisme pasar.

"Pemerintah perlu memberlakukan struktur pengendalian dari supply dan demand. Jadi barang-barang diatur oleh pemerintah dan tidak ada kebebasan dari pasar," katanya.

Saat ini, sambung Ali, sistem perekonomian Indonesia lebih dikenal dengan sebutan neolib  atau dahulu dikenal dengan nama market ekonomi liberal.

"Dimana semua mengikuti mekanisme pasar saja tanpa adanya batasan yang mengatur dari pemerintah," jelasnya.

Ditempat yang sama, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Firmanzah menekankan pemerintahan saat ini harus objektif dalam membuat sebuah kebijakan ekonomi.

"Kebijakan ekonomi terdahulu yang positif harus tetap dijalankan karena apa yang terjadi saat ini tidak seperti itu. Era orde baru muncul semua kebijakan ekonomi orde lama ditinggalkan, kemudian era orde reformasi muncul kebijakan orde baru juga ditinggalkan," ungkapnya.

Padahal, lanjut Firmanzah kebijakan terdahulu seperti adanya inpres desa tertinggal, program Irigasi, Keluarga Berencana, Kelompencapir sangat bagus sekali.

"Seharusnya yang seperti ini tetap dijalankan, sekarang baik itu positif apalagi negatif semua ditinggalkan. Ini yang membuat seretnya perekonomian kita," pungkasnya.

(dru/qom)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads