Listrik tersebut dibeli dari BUMN, BUMD dan badan usaha milik swasta, koperasi dan swadaya masyarakat guna memperkuat sistem penyediaan tenaga listrik setempat.
Hal ini tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No 31 Tahun 2009 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Baru Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik yang dikutip detikFinance, Rabu (9/12/2009).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga pembelian listrik ditetapkan Rp656/kWh x F jika terinterkoneksi pada tegangan menengah dan Rp1.004/kWh x F apabila terinterkoneksi pada tegangan rendah.
Dimana F adalah faktor insentif sesuai dengan lokasi pembelian tenaga listrik oleh PLN dengan besaran untuk wilayah Jawa dan Bali, F= 1, wilayah Sumatera dan Sulawesi, F = 1,2, wilayah Kalimantan, NTB, dan NTT, F= 1,3, dan wilayah Maluku dan Papua, F = 1,5.
PT PLN diperbolehkan membeli listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dengan harga lebih tinggi dari ketentuan tersebut. Namun pembelian tenaga tersebut berdasarkan pada harga perkiraan sendiri (HPS) PLN dan wajib disetujui Menteri ESDM.
Guna mempercepat proses transaksi jual beli tenaga listrik tersebut maka PT PLN (Persero) wajib membuat standar kontrak jual beli tenaga listrik.
Dengan berlakunya Permen ini, maka Permen ESDM Nomor 05 Tahun 2009 tentang Pedoman Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN dari Koperasi dan Badan Usaha Lain, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Untuk diketahui, sebelumnya PLN Juga telah membeli excess power di Sumatera Utara sebesar 47 MW dari PT Inalum dan PT Growth Plantation.
Di DKI Jakarta, PLN membeli kelebihan listrik dari PT Argo Pantes, PT Cikarang Listrindo, dan PT Bekasi Power Jababeka sebesar 89 MW.
Selain itu PLN juga telah membuat kontrak dengan sembilan pemilik excess power dari Sumut (12 MW), Riau (16 MW), Bintan (4 MW), Jatim (10 MW), Kalsel (17 MW), Jabar (20 MW), Lampung (6 MW), dan Jambi (11 MW).
(epi/qom)