Indonesia secara resmi telah mengajukan permintaan pembentukan Panel yang disampaikan dalam Sidang Badan Penyelesaian Sengketa/Dispute Settlement Body (DSB) WTO, pada tanggal 22 Juni 2010 di Jenewa Swiss.
Dalam sidang DSB WTO tanggal 22 Juni 2010 di Jenewa, Delegasi RI menyampaikan kepada Sidang alasan dan dasar hukum ketentuan WTO mengenai permintaan pembentukan Panel kepada DSB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini tanpa disertai bukti ilmiah serta tidak terpenuhinya persyaratan yang diatur oleh sejumlah pasal dalam Technical Barriers to Trade/TBT dan Sanitary and Phythosanitary/SPS.
Dalam sidang DSB tersebut, delegasi AS menyampaikan kekecewaannya atas tindakan Indonesia untuk membawa AS ke DSB dan merupakan suatu hal yang prematur.
"AS meminta Indonesia untuk mempertimbangkan kembali permintaan pembentukan Panel tersebut," kata Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami melalui siaran persnya, Sabtu (26/6/2010).
Meski kata Gusmardi, penolakan AS tersebut merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi dalam Sidang DSB. Hal ini karena AS sebagai pihak yang dipersengketakan mempunyai hak untuk memblokirnya pada kesempatan pertama sesuai dengan ketentuan WTO Dispute Settlement Understanding (DSU).
Namun pada sidang berikutnya AS tidak mempunyai hak lagi untuk menolak. Indonesia akan terus maju ke tahap berikutnya, pengajuan permintaan pembentukan panel adalah langkah tindak lanjut dalam proses penyelesaian sengketa dagang WTO.
Sebelumnya Indonesia telah mengajukan permintaan untuk konsultasi RI-AS pada tanggal 7 Maret 2010 dalam upaya mencari solusi atas undang-undang yang dikeluarkan AS.
Pada tanggal 13 Mei 2010, RI-AS telah melakukan konsultasi formal dalam kerangka DSB WTO namun hasilnya tidak dicapai kesepakatan. Pakai Senjata Anti-Diskriminasi untuk Lawan AS.
Sengketa RI-AS berawal dari terbitnya undang-undang di Amerika Serikat untuk mencegah atau mengurangi perokok anak muda sebagaimana tertuang di dalam 'Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act' yang di Undang-undangkan pada bulan Juni 2009 dan berlaku September 2009.
Peraturan tersebut telah melanggar ketentuan WTO yaitu secara diskriminatif mengecualikan rokok menthol dari larangan penjualan rokok beraroma, termasuk rokok kretek di Amerika Serikat.
Gusmardi menyatakan tindakan Pemerintah RI membawa AS ke DSB WTO merupakan langkah terakhir setelah berbagai upaya dilakukan sejak mulai masih dalam bentuk Rancangan UU dan dibahas di Kongres sampai diundangkan.
Indonesia telah menyampaikan kepentingannya dalam berbagai forum bilateral di tingkat senior official sampai di tingkat Menteri baik formal maupun informal selama lebih dari 4 (empat) tahun, namun tidak membuahkan hasil.
"Sebagai anggota WTO, AS seharusnya melaksanakan kewajiban internasionalnya sebagaimana terdapat dalam Agreement on Technical Barriers to Trade dan GATT 1994, untuk tidak melakukan diskriminasi perdagangan,” tegas Gusmardi.
Dalam Section 907 dari Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, (Public Law 111-31, 'The Act') telah disahkan menjadi undang-undang (UU) oleh Presiden Obama tanggal 22 Juni 2009.
UU ini melarang penjualan semua rokok yang mengandung aroma dan rasa (flavored cigarettes). termasuk rokok kretek di Amerika Serikat selain menthol dan berlaku efektif pada 22 September 2009.
Rokok kretek dan rokok menthol adalah 'Like products' sesuai Pasal 2.1 Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement). Sebesar 99% rokok kretek yang dijual di Amerika Serikat adalah produk impor terutama dari Indonesia. Sebaliknya, hampir seluruh rokok menthol yang dijual adalah hasil produksi domestik Amerika Serikat.
Oleh karena itu larangan atas impor rokok kretek tersebut merupakan bentuk perlakuan yang diskriminasi dan less favorable dibandingkan produk rokok menthol. Tujuan utama dari The Act tersebut adalah untuk mengatasi masalah kesehatan terkait dengan rokok yaitu dengan mengurangi konsumsi rokok pada anak muda.
Namun demikian, data menunjukkan 43 persen anak muda AS mengkonsumsi rokok menthol dan sekitar 1/4 dari keseluruhan rokok yang dikonsumsi di AS. Sebaliknya, konsumsi rokok kretek hanya mencapai kurang dari satu persen dari keseluruhan konsumsi rokok di AS (0,09%) dan konsumsi rokok pada anak muda (0,05%).
Mengingat bahwa larangan pada rokok beraroma tersebut tidak berlaku pada rokok menthol yang sebenarnya justru lebih besar tingkat konsumsinya, maka larangan terhadap rokok kretek yang tingkat konsumsinya relatif sangat rendah baik oleh anak muda maupun secara keseluruhan akan sangat tidak efektif untuk mencapai tujuan UU AS tersebut.
Larangan yang diberlakukan terhadap rokok kretek merupakan pelanggaran terhadap Article 2.2 dari Persetujuan TBT WTO (TBT Agreement) dimana lebih mengarah pada bentuk restriksi perdagangan untuk mencapai tujuan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam tujuan utama undang-undang AS tersebut.
"Ini merupakan masalah prinsip, karena telah terjadi diskriminasi dimana pengecualian terhadap menthol yang juga adalah rokok beraroma (flavoroured) di dalam UU sementara kretek yang beraroma cengkeh dilarang. Oleh karena itu, demi kepentingan nasional, Indonesia membawa masalah ini ke DSB WTO," jelasnya.
Berimbas Terhentinya Ekspor Rokok RI ke AS
Realisasi Ekspor rokok Indonesia ke AS, untuk produk cigarettes tobacco HS2402209010 termasuk rokok kretek di dalamnya menunjukan mengalami tren penurunan dari US$ 604.420 pada tahun 2007 turun menjadi US$ 83.616 tahun 2009 (The Act berlaku september 2009).
Parahnya lagi, tidak ada ekspor sama sekali pada tahun 2010. Adapun volume turun dari 30.196 kg pada tahun 2007 dan turun hingga 9.984 tahun 2009 dan tidak ada ekspor sama sekali pada tahun 2010.
(dru/dnl)