Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Max Pohan mengatakan angka ini mencakup seluruh provinsi, kabupaten, dan kota. Max menilai kondisi ini cukup memprihatinkan sekaligus menjadi catatan pemerintahan pusat.
"Secara umum kalau dipilah-pilah mencakup biaya administrasi, belanja barang dan sebagainya mencapai 70%," ujar Max dalam Forum Diskusi di Kantornya, Jalan Diponegoro, Jakarta, Senin (19/7/2010).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permasalahan itu karena memang otonomi daerah dan diskresi, tapi apa kami harus mewajibkan mengatasi persoalan itu dengan pegawai tidak digaji, kan tidak bisa," ujarnya.
Hal ini berdampak kepada lambatnya pembangunan di daerah. Apalagi dengan banyaknya anggaran yang terserap untuk belanja pegawai karena banyaknya jumlah pegawai daerah. Bappenas sendiri, lanjut Max, lebih menyoroti pada upaya daerah untuk membatasi jumlah pegawai yang ada.
Pasalnya, pegawai negeri yang ada sekarang ini jumlahnya banyak tetapi tidak mengetahui kerjanya apa. Hal ini menjadi persoalan klasik tetapi mampu menghambat pembangunan nasional secara umum.
"Pegawai daerah itu berlebihan, ada istri, suami, anak, cucu," sindirnya.
Max menyebutkan terdapat solusi lain agar penyerapan anggaran daerah tidak hanya untuk belanja barang dan pegawai tetapi mulai digunakan untuk membangun daerah. Caranya dengan memperbesar jumlah anggaran pemerintah ke daerah.
Namun, hal ini juga tidak bisa dipaksakan. Tergantung kemampuan daerah tersebut dalam menggunakan anggaran yang disediakan. Sejauh ini, memang anggaran untuk daerah masih dikatakan sedikit.
"Jadi jangan heran kalau prasarana umum yang dipegang pemerintah kabupaten atau kota kurang, karena memang kurang dana, maka pengelolaanya jadi kurang bagus," ujarnya.
Selain itu pemerintah juga menyadari, kurang baiknya pembangunan di daerah karena keterampilan manajerial yang masih rendah.
(nia/dnl)