Tuak, merupakan minuman tradisional ala Sumatera Utara. Minuman ini berasal dari pohon aren atau kelapa yang awalnya manis untuk diminum. Namun hasil penyadapan dari kedua pohon ini berubah menjadi tuak ketika air nira ini dicampur dengan kulit kayu aru. Setelah dicampur kulit inilah disebut menjadi tuak dan bisa memabukkan.
Kini lahan kepala seluas 50 hektar sebagai kesatuan untuk mendukung produksi biodiesel tersebut justru berubah dijadikan produksi tuak terbesar di Riau. Pohon kepala yang sudang berusia lima tahun lebih itu tidak terlihat ada buah kelapanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jerigen inilah sebagai tempat penyadapan air nira sebelum dijadikan tuak. Saban hari ada warga yang menyedap hasil air nira dari pohon kelapa milik pemerintah tersebut. Kabarnya, lahan ini disewakan kepada salah seorang warga di desa tersebut.
Hasil dari penyadapan pohon kelapa ini diperkirakan bisa menghasilkan 20 jerigen besar dengan kapasitas 25 liter. Itu artinya, dalam satu hari perkebunan kelapa untuk pabrik biodiesel ini bisa menghasilkan 500 liter per hari.
Menurut A Aritonang salah seorang pembeli tuak, setiap harinya dia membeli dari pengelola perkebunan itu minimal 4 jerigen. Satu jerigen dia beli seharga Rp80 ribu.
โKita di sini hanya pembeli saja pak, kami beli dari Pak Simatupang yang punya tuak ini,โ kata A Aritonang warga Kabupaten Pelalawan kepada detikFinance.
Menurut Aritonang, banyak penjual tuak dari Pelalawan atau Pekanbaru yang membeli di lahan kelapa pabrik tersebut. Hasil tuak dari perkebunan milik pemerintah daerah inilah, selanjutnya menyebar ke sejumlah pakter (kedai tuak) baik di Pekanbaru maupun di Kabupaten Kampar maupun Pelalawan.
Warga lainnya di sekitar pabrik biodiesel, Anton (34) menyebut, setiap hari lahan kelapa itu diserbu para pemilik pakter tuak. Dan dikabarnya, lahan itu telah disewakan ke seorang warga untuk dijadikan tuak.
โKami heran juga kok lahan pemerintah justru dijadikan produksi tuak yang sangat besar sekali. Padahalkan itu dulunya mau dijadikan produksi minyak solar. Pengakuan sejumlah pengumpul tuak, lahan itu disewa seseorang dengan harga Rp 5 juta per bulan yang dibayar ke Pemerintah Riau,โ kata Anton warga di sekitar pabrik. (cha/epi)