Pemerintah Harus Jelaskan Kalau RI Sudah Net Importir Minyak

Pemerintah Harus Jelaskan Kalau RI Sudah Net Importir Minyak

- detikFinance
Kamis, 27 Mei 2004 16:20 WIB
Jakarta - Pemerintah harus menjelaskan kondisi Indonesia yang saat ini sudah menjadi net importir minyak. Saat ini ada ketidaksinkronan antara pernyataan Depkeu dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) terkait kondisi net importir ini.Hal ini disampaikan tim Indonesia Bangkit yang dihadiri oleh pengamat ekonomi Indef Dradjat H Wibowo, Sunarsip dan Fabby Tumiwa dan pengamat perminyakan Kurtubi dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (27/5/2004).Dradjad menjelas Depkeu telah memberi sinyal Indonesia sudah menjadi negara net importir, sedangkan DESDM masih optimis Indonesia masih menjadi negara net eksportir. "Terus terang kita terkejut dengan pernyataan Depkeu bahwa kenaikan harga minyak mentah dunia saat ini telah memberikan dampak negatif pada APBN. Padahal tahun-tahun sebelumnya Indonesia selalu mengalami windfall," kata Dradjad.Dijelaskan Dradjad, jika menggunakan asumsi yang ada dalam APBN 2004 saat ini, dengan kenaikan harga minyak sekarang sebetulnya untuk setiap kenaikan US$ 1 dolar per barel, pemerintah seharusnya mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 580 miliar sampai Rp 606 miliar dengan catatan kurs Rp 9.000 per dolar AS.Sementara untuk penerimaan sumber daya alam migas setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel mendapat tambahan penerimaan Rp 330 miliar untuk kurs yang sama. "Jadi secara netto jika kurs Rp 9.000 per barel dengan produksi yang ada sekarang, pemerintah akan mendapatkan penerimaan netto Rp 936 miliar untuk setiap kenaikan 1 dolar per tahun," paparnya. "Dampak negatif pada APBN akan timbul kalau kita jadi negara net importir dan otomatis kita harus keluar dari OPEC. Dan hal ini jelas akan mengguncang negara produsen minyak di seluruh dunia," ujar Dradjad.Sementara pengamat perminyakan Kurtubi mengaku sangat prihatin dengan industri perminyakan Indonesia karena dalam 4 tahun terakhir produksi minyak mentah Indonesia turun drastis hingga 30 persen. "Ini hal terbesar yang dialami suatu negara di industri perminyakan dunia. Padahal tahun 1999 lalu produksi minyak kita masih mencapai 1,4 juta barel per hari. Jadi sebetulnya dari produksi minyak mentah ini sudah lama kita jadi net importir karena kuantity yang dihasilkan lebih rendah dari yang dibutuhkan," kata Kurtubi.Namun disisi lain, lanjut dia, yang masih menggembirakan adalah Indonesia masih menjadi pengekspor terbesar untuk LNG sehingga dengan kenaikan harga minyak saat ini penerimaan negara masih bisa naik dengan besarnya ekspor LNG. Dijelaskan, dengan asumsi rata-rata harga minyak US$ 30 per barel sebetulnya masih ada tambahan penerimaan untuk pemerintah sebesar Rp 21 triliun. Diakui, subsidi akan bertambah namun dengan asumsi harga BBM tidak naik sehingga tambahan subsidi hanya Rp 15,5 triliun. Dengan demikian Indoensia tetap mendapatkan penerimaan netto sebesar Rp 6 triliun.Kurtubi meminta pemerintah menyempurnakan UU Migas karena telah membuat sistem perminyakan Indonesia tidak efisien.Selain itu menurut Kurtubi Pertamina bisa rontok karena produksi BBM yang dijual harganya lebih rendah dari harga di pasar. (qom/)

Hide Ads