Dalam Nota Keuangan RAPBN 2012 disebutkan, kenaikan alokasi cadangan risiko fiskal disebabkan adanya alokasi cadangan risiko lifting dan risiko fiskal lainnya akibat perubahan parameter subsidi listrik.
Cadangan risiko fiskal dialokasikan untuk menampung cadangan perubahan asumsi makro Rp 1,6 triliun. Juga, untuk stabilisasi harga pangan Rp 2 triliun, risiko lifting Rp 2 triliun, risiko kenaikan harga tanah (land capping) Rp 500 miliar, dan cadangan lainnya (listrik) Rp 9,8 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cadangan risiko fiskal kan tidak hanya untuk listrik saja, ya lifting, ya namanya risiko fiskal yang terkait namanya dana-dana yang mengharuskan pemerintah untuk melakukan take over," ujar Herry saat ditemui di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Kamis (18/8/2011).
Mengenai anggaran cadangan risiko fiskal yang meningkat pesat, sementara anggaran subsidi berkurang, Herry menilai hal tersebut wajar. Dalam RAPBN 2012, anggaran subsidi direncanakan mencapai Rp 208,9 triliun atau berarti turun Rp 28,3 triliun dari beban anggaran subsidi dalam APBN-P 2011 sebesar Rp 237,2 triliun. Rincian anggaran subsidi itu adalah subsidi BBM Rp 123,6 triliun; subsidi listrik Rp 45 triliun; dan subsidi non-energi Rp 40,3 triliun.
"Saya rasa wajar-wajar saja, banyak parameter yang harus dilakukan," tegasnya.
Menurut Herry, kebanyakan cadangan risiko fiskal tersebut guna menjaga anggaran untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk PLN jika ada perubahan lifting maupun harga minyak.
"Lebih banyak ke BBM, tapi tidak hanya itu karena asumsinya kan ada banyak, ada BBM, jadi kalau meleset itu kita ambil dari situ," pungkasnya.
Dalam nota keuangan tersebut, apabila variabel asumsi makro berbeda dari asumsinya, akan menyebabkan risiko yang memengaruhi APBN. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) misalnya, akan memengaruhi APBN dari sisi pendapatan kontrak production sharing (KPS) minyak dan gas, pendapatan PPh Migas, serta subsidi BBM.
Dalam APBN 2012, apabnila rata-rata ICP lebih tinggi USD$ 1 per barel dari asumsi, akan ada tambahan defisit hingga Rp 0,43 triliun hingga Rp 0,53 triliun.
Jika realisasi produksi minyak siap jual atau lifting minyak meleset 10.000 barel per hari, tambahan defisit diperkirakan pada kisaran Rp 1,71 triliun sampai Rp 2,08 triliun.
(nia/dnl)