Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hal ini sejak beberapa tahun terahir ini menjadikan lingkungan sebagai salah satu fokus objek audit.
"Untuk menghitung kerugian negara akibat illeegal logging bukan dilihat dari berapa jumlah pohon yang ditebang alias tegakan kayu tetapi dilihat akibat sosial dari adanya illegal logging ini," kata Ali Masykur Musa saat jumpa pers di Hotel Sheraton Senggigi, Lombok, Senin (03/09/12).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini dilakukan step by step, dipertambangan kita lihat dalam aspek PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan aspek lingkungan. antara Pemerintah pusat dan daerah terjadi tumpang tindih regulasi. Tidak seluruhnya ijin mengeluarkan jaminan reklamasi," katanya.
Ali melanjutkan jika mentalitas dari desentralisasi atau otonomi daerah ternyata tidak berbanding lurus dengan percepatan kesejahteraan di daerah. Harus ada koordinasi oleh pmerintah pusat dan daerah terkait ijin baru pertambangan.
Sebagai bahan perbandingan, sampai dengan bulan Juni 2012 Kementerian Kehutanan mencatat Perkembangan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan sebesar 2.519.415,82 Ha. Terbagi menjadi dua yaitu lahan eksplorasi sebesar 1.744.578,68 Ha dan lahan eksploitasi sebesar 774.837,24 Ha. Sedangkan yang digunakan untuk non pertambangan mencapai 20.697,21 Ha. Tiap tahun diperkirakan negara rugi hingga Rp 31 triliun dari Illegal Logging ini.
Menurut BPK Perusahaan pertambangan yang tidak clear and clean, jika membuat ijin baru harus melihat AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Jika tidak mencakup hal itu maka BPK mengancam tidak akan mengeluarkan ijin baru pertambangan.
"Tetapi yang terpenting yaitu mendorong level negara harus dinaikan dan generasi kedepan harus punya hak yang sama. Jadi dihitung bukan pada tegakan kayu tetapi dilihat akibat sosial dari adanya illegal logging ini," tutupnya.
(wij/dru)