Belajar dari Batavia dan Bandung

Wacana Pemindahan Ibu Kota (2)

Belajar dari Batavia dan Bandung

- detikFinance
Rabu, 18 Sep 2013 11:41 WIB
Lansekap Bandung pada 1920-1930 (foto: bandungsae.com)
Jakarta - Semarang, menjelang 1920. Begitu menghirup udara pegunungan, H. F. Tillema langung 'jatuh cinta' pada kota Bandung. Pada penelitiannya kemudian, dia mengusulkan ibu kota dipindahkan ke kota yang diapit pegunungan itu.

β€œKota-kota pelabuhan di pantai Jawa sudah terasa panas dan semangat pekerja turun karena cepat lelah,” kata pakar kesehatan lingkungan itu dalam rekomendasinya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J. P. Graaf van Limburg Stirum.

Tillema mengingatkan soal Inggris yang pernah memindahkan ibu kota daerah koloni India, dari Kalkuta ke New Delhi di pedalaman. Usulan Tillema disambut J. Klopper, rektor Magnificus Bandoengsche Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bandung sendiri sedang tumbuh menjadi kota yang ramai sejak Belanda membangun jalan raya Pos dari Anyer ke Panarukan. Sebelumnya, pada 1810 H. W. Daendels sudah memerintahkan pemindahan ibu kota Bandung dari Krapyak ke tepi jalan raya Pos.

Pemindahan ibu kota Hindia Belanda pun dieksekusi menjelang 1920, diawali perpindahan kantor Jawatan Kereta Api Negara, Pos dan Tilpon, Departement van Geovernements Bedrijven (GB) yang membawahi Dinas Pekerjaan Umum. GB menempati Gedung Sate yang dibangun dengan biaya 6 juta Gulden dan dirancang oleh arsitek J. Gerber.

Lalu diikuti oleh perpindahan sebagian Departemen Perdagangan dari Bogor, Kantor Keuangan, dan Lembaga Cacar yang bergabung dengan Institut Pasteur. Kementerian Pertahanan (Departement van Oorlog) sendiri sudah secara bertahap sudah memindahkan personilnya sejak 1916. Sebelumnya, mulai 1898 pabrik mesiu di Ngawi dan pabrik senjata atau Artillerie Constructie Winhel dari Surabaya sudah terlebih dahulu pindah.

Secara keseluruhan, perpindahan kantor-kantor ini selesai pada 1920.

Pemindahan terakhir adalah kantor Gubernur Jenderal, yang dipindahkan pada awal Maret 1942, ketika Belanda mulai ditekan oleh Jepang di Batavia. Beberapa hari kemudian, Belanda menyerah kepada Jepang pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Tjarba van Starkenburg Stakhouwen.

Bandung, selain karena udaranya yang sejuk dan dekat dengan Batavia, dipilih lantaran topografinya berupa cekungan dengan dataran luas di tengah dan dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan di sekelilingnya. Belanda melihat, Bandung adalah benteng alam yang kokoh untuk menangkis serangan musuh. Selain itu akses menuju Bandung juga terbatas. Hanya melalui jalan Anyer-Panarukan yang membelah Bandung dari Barat ke Timur.

Oleh sebab itu, pertahanan hanya fokus di barat dan timur sehingga konsentrasi pertahanan bisa dilakukan. Di Cimahi didirikan pusat militer dan di barat, di Sumedang, berdiri benteng-benteng pertahanan.

Tapi pada masa kemerdekaan, Jakarta kembali menjadi ibu kota Indonesia. Pada agresi militer Belanda, pemindahan ibu kota secara administratif dilakukan beberapa kali, di antaranya ke Yogyakarta dan ke Bukit Tinggi. Presiden Sukarno bahkan pernah melawat Takengon di pedalaman Aceh, dan mempertimbangkan pemindahan ibu kota ke sana. Tapi situasi yang berubah membuat rencana itu dibatalkan.

Pada akhir 1950-an, Sukarno juga pernah memiliki ide untuk memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Rencananya, Jakarta tetap menjadi pusat ekonomi sementara Palangkaraya berfungsi sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan.

Mengapa Palangkaraya? Menurut Sukarno, kota itu sangat mewakili Indonesia karena terletak di tengah-tengah wilayah Indonesia sehingga bisa menjangkau seluruh daerah. Tidak seperti Jakarta, yang lebih dekat ke bagian barat dan kejauhan bagi wilayah timur.

Pada era Orde Baru, Pemerintahan Soeharto berencana memindahkan ibu kota ke daeah Jonggol, Jawa Barat. Melalui Keputusan Presiden No 1/1997, pemerintah memerintahkan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Pada 1998, pemerintahan ini tumbang dan proyek Jonggol mandek.

Kini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali melemparkan ide tersebut, pertama di Palangkaraya pada 2009 dan kemudian diulang di ajang pertemuan negara-negara G20 di Rusia, baru-baru ini. Mungkinkah terwujud?

(DES/DES)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads