Devi berasal dari sebuah desa di Bharatpur yang terkenal sebagai salah satu 'penghasil' pekerja seks di India. Pada usia 14 tahun, atas perintah ibunya sendiri, Devi diboyong seorang pria ke sebuah distrik 'lampu merah' di New Delhi, Garstin Bastion Road.
Menurut data dari lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, di tempat distrik lampu merah itu terdapat 92 rumah bordil dengan lebih dari 4.000 orang pekerja seks seperti Devi. “Saya selalu tahu bahwa ini akan jadi hidup saya,” kata Devi. “Inilah satu-satunya cara hidup keluarga kami.”
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Assam misalnya, bila orang tua dari kaum pemetik teh di sana melahirkan anak perempuan, mereka akan langsung ditemui seorang agen dan 'membelinya' seharga US$ 50 saja. Setelah cukup umur, anak itu akan 'dijual' ke kota dengan harga mulai US$ 800.
Begitulah nasib Elaina, 14 tahun, yang diselundupkan dari Lakhimpur di Assam. Di Delhi dia kerap mengalami siksaan dan perlakuan buruk dari induk semang yang 'membelinya' dari agen di kampungnya.
PBB menghitung, industri prostitusi di India memang terbilang dahsyat. Nilai bisnis ini mencapai antara US$ 4 miliar sampai US$ 10 miliar. Industri ini makin kokoh ditopang oleh situasi kemiskinan, korupsi, sampai praktek budaya yang diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Total ada sekitar 4 juta orang pekerja seks di India. Parahnya, 1,2 juta di antaranya berusia di bawah 18 tahun.
Kebanyakan mereka berasal dari kasta rendahan atau keluarga yang sangat miskin. Kaum perempuan dijadikan tulang punggung keluarga dan profesi yang paling mudah untuk dijangkau bagi mereka adalah sebagai pekerja seks.
Bahkan, sebagai permulaan, pihak keluarga biasanya akan melelang keperawanan anaknya dengan nominal tertentu.
Contoh saja kisah Manju. “Keperawanan saya dihargai 25 ribu Rupee 11 tahun lalu,” kata perempuan 24 tahun ini. Saat itu usianya baru 11 tahun dan baru saja selesai menjalani menstruasi pertamanya. Keperawanannya jadi milik seorang manager bank.
Setelah itu, Manju bergabung dengan Devi dan kawan-kawannya. Saban hari dia bisa melayani enam lelaki hidung belang. Penghasilannya sekitar 1.000 - 2.000 Rupee sehari, jauh lebih besar dari penghasilan orangtuanya, yang hanya rata-rata 188 Rupee sehari..
Alhasil keluarganya menganggap itu semua wajar. “Tentu saja kami sedih memaksa kaum perempuan kami ke dalam garis kehidupan seperti ini, tapi bagaimana lagi cara kami mencari uang?” kata Vijay, 30 tahun, kakak kandung Manju yang sehari-hari hidup dari pendapatan adiknya.
Inilah ironi bernama India. Di tengah pertumbuhan gross domestic bruto (GDB) rata-rata naik 8 persen per tahun ternyata tak menjamin perlakuan terhadap kaum perempuan menjadi lebih baik.
Sebanyak 40 persen sterilisasi perempuan dunia terjadi di sini. Setiap 21 menit satu perempuan diperkosa. Belum lagi soal prostitusi dan penyelundupan anak. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia India menyatakan, prostitusi anak-anak terus meningkat saban tahun.
“Kita sedang menyaksikan pertumbuhan prostitusi yang luar biasa,” kata K.K. Mukherjee, seorang sosiolog yang mempelajari pekerja seks selama lebih dari tiga dekade. “Hal ini didorong oleh tingkat penghasilan dan perubahan sikap seksual serta peningkatan migrasi perempuan ke kota-kota.”
Pemerintah India sudah menetapkan sanksi untuk prostitusi maupun mendirikan rumah bordil. Tapi dalam lima tahun terakhir, angka pelacuran meningkat 16 persen dan sudah mencapai 902 persen kalau dibandingkan dengan tahun 1971.
Pelaku bisnis pelacuran dan rumah bordil rupanya berhitung bahwa laba dari bisnis kelam ini lebih menggiurkan ketimbang ancaman denda atau hukuman penjara yang menanti mereka kalau tertangkap.
(DES/DES)











































