Mulai awal tahun sampai Mei, IHSG masih berjaya dalam tren menguat. Namun ketika memasuki tengah tahun, kondisi mulai berubah tajam.
“Kondisi pasar keuangan kita mulai diuji dengan berbagai tekanan. Perlambatan ekonomi global berdampak pada pasar modal kita," kata Muliaman D Hadad, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana kira-kira kondisi pasar modal 2014? Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities, menyatakan pelaku pasar masih akan mencermati kondisi global dan dalam negeri. Dari faktor global, perkembangan di Amerika Serikat menjadi perhatian.
Reza menyebutkan beberapa faktor di AS yang masih menjadi perhatian investor. Pertama adalah pengurangan stimulus moneter (tapering off) kemungkinan diberlakukan secara bertahap, kedua pembahasan anggaran dan batas utang pemerintah (debt ceiling) akan kembali mencuat pada semester I 2014, ketiga suku bunga rendah masih dipertahankan, keempat pertumbuhan ekonomi akan coba dikerek ke level 2,6-2,7 persen, dan utang pemerintah AS yang kemungkinan mencapai US$ 21,3 triliun dari saat ini US$ 17,3 triliun.
Selain di AS, perkembangan di sejumlah negara juga patut dicermati. Seperti pertumbuhan ekonomi China dan India yang masih melambat, stimulus ekonomi di Jepang, atau ketegangan di Semenanjung Korea.
Sementara di dalam negeri, Reza menilai ada pula beberapa indikator yang menjadi fokus investor. Diantaranya adalah potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi, pergerakan nilai tukar rupiah, defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan, serta penyelenggaraan Pemilu.
Dengan faktor-faktor tersebut, Trust Securities memperkirakan IHSG pada 2014 berada kisaran 4.800. Saham-saham emiten komoditas seperti produsen minyak sawit mentah (CPO) dan batubara kemungkinan masih mengalami tekanan akibat lemahnya permintaan global.
“Namun, tahun depan masih ada potensi pemulihan ekonomi global walau perlahan dan bertahap. Ini bisa meningkatkan permintaan komoditas dan mendukung kinerja emiten-emiten sektor tersebut,” kata Reza.
Saham emiten sektor konsumsi, tambah Reza, juga masih bisa diharapkan sebagai saham defensif. “Industri konsumsi masih akan mengalami pertumbuhan minimal 6-8 persen, ditopang daya beli masyarakat yang tetap stabil meski menghadapi kenaikan harga jual produk dan fluktuasi nilai tukar,” tuturnya.