Di Indonesia, penggemar Lego cukup banyak. Sebagian dari mereka bergabung di komunitas Lego, yang salah satunya adalah Klub Lego Indonesia (KLI).
Sejak berdiri pada 2007, KLI kini memiliki sekitar 200-300 anggota. Namun yang benar-benar aktif hanya sekitar 50 orang. Dari jumlah tersebut, sebagian besar sudah tidak lagi bisa disebut anak-anak.
“Paling tua ada yang di atas 45 tahun, tetapi kebanyakan pegawai kantoran. Mereka waktunya lebih banyak dan ekonominya lebih mapan,” kata Stephanus Suryawan, anggota KLI.
Menurut Indra, salah seorang pendiri KLI, Lego pada dasarnya memang mainan anak-anak. “Namun semua mainan itu ada penggemat dari kalangan dewasanya. Malah biasanya bapaknya yang ikut anaknya, terus bapaknya jadi suka,” ujar dia.
Bagi orang dewasa, Lego bukan lagi sekedar mainan. Lego menjadi hobi bahkan karya seni. “Kalau pelukis berkarya di atas kanvas, kami berkarya dengan Lego. Lebih kompleks, bukan sekedar mainan,” lanjut Stephanus.
Sebuah set Lego tidak hanya terbatas untuk dirakit menjadi bentuk tertentu. “Kolektor biasanya naik step, bikin sesuatu yang baru yang tidak dibuat oleh Lego. Kami menyebutnya my own creation,” kata Yul Burman, anggota KLI.
Apakah Lego merupakan hobi yang mahal? Anak-anak KLI menjawabnya relatif. “Sebenarnya tergantung orang melihat. Kalau itu hobi ya sebenarnya melihat itu murah, tapi orang luar melihat buat apa untuk Lego harus keluar uang banyak. Sama seperti lari, sepatunya buat apa yang mahal?” tutur Indra.
Yul menambahkan, terkadang seorang penggemar Lego memang bisa mengeluarkan banyak dana untuk menambah koleksinya. “Ini jatuhnya bukan mainan, tetapi hobi. Saat menjadi hobi, terkadang value uang jadi tidak ada,” ucapnya.
Ketika kalap, seorang kolektor Lego memang bisa berbelanja sampai puluhan juta rupiah. Stephanus menyatakan seorang penggemar Lego bisa mengeluarkan dana Rp 30 juta dalam sekali belanja. “Kadang kita sebulan ada yang tidak belanja, tetapi kalau ada toys fair atau paket-paket murah bisa keluar Rp 30 jutaan. Itu sekali, kadang ada yang spend-nya sampai segitu,” katanya.
Salah satu trik menekan pengeluaran, menurut Yul, adalah dengan menentukan anggaran. “Misalnya sebulan Rp 2,5 juta. Kalau tidak ada rules memang bisa parah,” ujarnnya.
Trik lain adalah rajin berburu dan tidak tergesa-gesa. “Kalau saya cari barang seninya adalah ketemu dengan harga murah. Bukan berarti semua bisa dibeli dengan uang, kalau bisa murah mengapa harus mengeluarkan uang banyak?” tukas Yul.
Ke depan, KLI menilai hobi Lego tidak akan punah dan justru semakin digemari. Ini terbukti dari eksistensi Lego yang semakin kinclong seiring waktu.
“So far peminatnya akan semakin banyak, apalagi dengan adanya Lego Movie. Sepertinya Lego tidak akan habis,” kata David.
(hds/DES)