Penjang jalan raya di Indonesia hanya 502 km tidak sebanding dengan luas daratannya yang mencapai 1.919.443 km.
"Ini tidak mampu menunjang aktivitas ekonomi secara optimal, begitu juga dengan infrastruktur udara dan laut," kata Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, saat ditemui di Park Royal Apartment, Jakarta, Selasa (20/5/2014).
Buruknya infrastruktur juga terlihat di sektor energi. Pengembangan energi alternatif dan energi non BBM seperti gas bumi, panas bumi belum terlihat sejauh ini karena terbentur masalah infrastruktur.
Selain itu, realokasi anggaran dari kenaikan harga BBM tidak pernah dimanfaatkan untuk mendorong tumbuhnya energi alternatif melalui pembangunan berbagai infrastruktur energi. Konsumsi listrik per kapita masih rendah, 5 kali lebih rendah dibandingkan Malaysia.
Enny menambahkan, pembangunan infrastruktur sangat tidak merata lebih banyak dibangun di daerah yang sudah terbukti memberi kontribusi nyata bagi perekonomian, sedangkan yang masih berupa potensi cenderung diabaikan.
"Kalau pun dibangun biaya pemeliharaannya minim sehingga kurang terawat. Akibatnya wilayah Indonesia yang demikian luas akan terkotak-kotak menjadi daerah miskin dan kaya," tandasnya.
Ia menambahkan, kebijakan ekonomi Indonesia saat ini masih berfokus pada kebijakan terhadap pemodal besar, sementara sektor riil yang cenderung berpihak pada rakyat justru diabaikan.
Pemerintahan yang baru perlu menggerakkan akselerasi kebijakan di sektor riil yang banyak menyerap banyak tenaga kerja.
"Sekarang kebijakan kita pro modal, pemodal besar. Sektor pertanian terabaikan. Kebijakan anggaran kita harus bagaimana fokus kepada akselerasi sektor riil sehingga bisa menghasilkan penyerapan tenaga kerja. Kalau sektor tradeable tumbuh maka non tradeable mengikuti. Ini yang harus kita fokuskan," kata Enny.
(drk/ang)