Hal ini disampaikan oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/5/2014)
"Kemasan itu mulai dari stiker sampai kardus-kardus kecil," katanya.
Produksi sejumlah komoditas buah di Banyuwangi terus meningkat. Misalnya Semangka,naik dari 28.316 ton pada 2012 menjadi 47.366 ton. Melon naik dari 13.932 ton (2012) menjadi 17.430 ton (2013).
Manggis melejit dari 8.651 ton (2012) menjadi 20.199 ton (2013). Jeruk siam melesat dari 134.890 ton (2012) menjadi 222.804 ton (2013). Adapun buah naga meningkat dari 12.936 ton (2012) menjadi 16.631 ton (2013).
Ia berharap semua elemen fokus membangkitkan kembali sektor pertanian nasional, antara lain dengan melakukan proteksi pasar.
"Karena sehebat apa pun kita menggenjot produksi, intensifikasi lahan dan sebagainya, kalau pasar tidak diproteksi, akan susah. Hortikultura misalnya, produksi buah naik tapi kalau buah impor lebih murah, kalah juga akhirnya. Maka kesadaran konsumsi buah lokal harus digalakkan, di Banyuwangi kita larang semua acara resmi dari RT sampai kabupaten untuk sajikan buah lokal. Alhamdulillah berhasil, petani buah kita semangat," ujarnya.
Terkait tanaman pangan, Banyuwangi mematok lahan abadi seluas 80.000 hektar sawah yang tidak boleh dialihfungsikan. Selain itu, ada pembangunan Waduk Bajulmati berkapasitas 10 juta meter kubik air yang akan mendukung penciptaan 1.800 hektar sawah baru di wilayah utara Banyuwangi.
Produksi padi di Banyuwangi pada 2012 mencapai 761.317 ton, lalu meningkat menjadi 792.573 ton pada 2013. Luasan panen meningkat dari 116.728 hektar menjadi 121.377 hektar.
Untuk mendorong sektor pertanian di Banyuwangi, Anas berharap industri perbankan lebih gencar lagi mengucurkan kredit ke sektor pertanian, terutama untuk tanaman pangan dan hortikultura. Selama ini, porsi kredit ke sektor pertanian sangat minim.
"Porsi kredit pertanian hanya sekitar Rp 147 triliun atau 5 persen dari total kredit perbankan yang mencapai di atas Rp 2.700 triliun. Lembaga keuangan formal masih menjauhi sektor ini, padahal sektor pertanian adalah penyerap terbesar tenaga kerja di Indonesia," ujar Anas.
Anas menuturkan, dari total kredit ke sektor pertanian, lebih dari 60% dikucurkan untuk sektor perkebunan sawit. Hal ini menunjukkan data yang bias, karena tidak menunjukkan fakta detil tentang minimnya keberpihakan perbankan ke sektor tanaman pangan seperti padi maupun sektor hortikultura.
"Saya berharap BI mendefinisikan ulang kredit ke pertanian ini, sehingga tidak dicampur dengan sawit. Jadi kita tahu betul betapa minimnya kredit untuk petani padi, petani jeruk, atau petani bawang," ujarnya.
Tanpa keberpihakan perbankan, menurut Anas, sektor pertanian akan semakin susah untuk bangkit. Petani akan terjebak pada jebakan utang dari lintah darat, sehingga marjin keuntungannya dalam melakukan usaha tani semakin menipis.
"Ini pula yang menjadi penjelas konversi lahan pertanian cukup gila-gilaan karena petani hopeless, keuntungan yang sudah minim tergerus pula oleh bunga mencekik lintah darat," katanya.
Di Banyuwangi, pemerintah daerah setempat memberikan bantuan modal bergulir dan alat produksi ke petani. "Namun tentu kapasitas fiskal daerah terbatas, yang terbanyak ke depan harus tetap dari perbankan yang bisa disambungkan dengan koperasi tani," katanya.
(hen/hds)