Untuk membangun proyek-proyek tersebut, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Perlu dukungan atau sinergi dengan swasta serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun untuk mengembangkan proyek infrastruktur, BUMN justru kerap mengalami kendala perizinan. Proyek tersebut antara lain monorel Jabodetabek, bandara atas air Semarang, hingga tol Trans Sumatera.
Bagaimana kelanjutan perizinan atau perkembangan proyek-proyek tersebut?
Corporate Secretary PT Adhi Karya Tbk (ADHI) M Aprindy menjelaskan, pihaknya sebagai ketua konsorsium moda transportasi kereta monorel Jabodetabek masih mengurus perizinan di level Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinator Ekonomi, hingga Sekertariat Kabinet.
Adhi Karya yang mengusulkan proyek monorel 1 tahun silam lebih ini, telah menyelesaikan perubahan anggaran dasar sebagai landasan memperoleh Peraturan Presiden (Perpres) penugasan. Perubahan yang dilakukan adalah memasukkan lini usaha penyelenggara bisnis sarana dan prasarana perkeretaapian seperti diamanatkan dalam perundang-undangan.
"Semua on progress, Perpres masih dalam proses. Setelah RUPS kedua tanggal 3 april 2014 kemarin, hasilnya kami sampaikan ke pihak-pihak terkait dan direspons oleh Sesmenko Perekonomian, yang secara prinsip setuju dan meminta ADHI untuk koordinasi dengan pihak Kemenhub terkait dengan perizinan," papar Aprindy kepada detikFinance Senin (2/6/2014).
Aprindy menuturkan proyek monorel tahap I memerlukan payung hukum berupa Perpres penugasan karena akan melalui 2 provinsi yakni Jawa Barat dan DKI Jakarta. Perpres ini diperlukan untuk mempercepat proyek yang dibiayai 100% oleh konsorsium BUMN tanpa campur tangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Proyek monorel Adhi Karya mampu memangkas atau mengalihkan penggunaan kendaraan roda 4 dan roda 2 yang berpergian ke Jakarta. Rute monorel dibangun dari pusat pemukiman dan simpul kendaraan menuju pusat kota Jakarta, yakni Cibubur dan Bekasi Timur. Rute monorel Jabodetabek fase I adalah Bekasi Timur-Cawang, Cibubur-Cawang, kemudian dari Cawang-Kuningan Jakarta Selatan.
Sementara itu, proyek infrastruktur raksasa milik BUMN lainnya yang sempat terkendala perizinan adalah pengembangan Bandara Ahmad Yani Semarang. PT Angkasa Pura I selaku BUMN operator bandara akan melakukan pengembangan dan peningkatan kapasitas terminal bandara.
Proyek yang menelan biaya Rp 1,5 triliun dan tanpa menyentuh APBN tersebut terhambat perizinan di level Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan. Pasalnya saat pembangunan akan dimulai, muncul perbedaan harga sewa lahan antara AP I dan pemerintah pusat.
"Baru keluar surat dari Menkeu untuk Bandara Ahmad Yani. Persetujuan tanggal 22 Mei. Setelah dari Menkeu, kita harus ke Kemenhan untuk dapat persetujuan. Ini kita urus dan tunggu proses Kemenhan," jelas Direktur Utama AP I Tommy Soetomo.
Ketika beroperasi, Bandara Ahmad Yani menjadi bandara pertama di Indonesia dengan konsep terminal di atas air. Total investasi yang diguyur AP I mencapai Rp 1,5 triliun. Kapasitas terminal pasca pengembangan mampu menampung hingga 4 juta penumpang per tahun sedangkan kapasitas saat ini hanya mencapai 800 ribu penumpang per tahun.
Sementara itu, proyek sinergi BUMN lainnya yang masih tertahan adalah pengembangan tol Trans Sumatera. Pemerintah telah menugaskan PT Hutama Karya untuk menggarap 23 ruas tol dari Lampung hingga Aceh sepanjang 2.737,2 km ini.
Tahap I, Hutama Karya akan membangun 4 ruas tol yang membentang sepanjang 436 km. Proyek ini, awalnya ditargetkan bisa groundbreaking paling lambat akhir 2013. Namun hingga kini groundbreaking tak kunjung terlaksana lantaran Hutama Karya belum memperoleh Perpres penugasan.
"Proyek Tol Trans Sumatera belum ada progress berarti," kata seorang petinggi Hutama Karya kepada detikFinance.
Β
(feb/hds)