Namun kenyataannya harga daging sapi tetap bertahan, bahkan di pasar tradisional Jakarta ada yang mencapai Rp 100.000/kg.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, harga daging sapi rata-rata nasional per 10 Juni 2014 masih bertahan Rp 97.733/kg, sedangkan di Jakarta Rp 92.000/kg. Bandingkan dengan harga rata-rata nasional pada 12 Mei 2014 atau sebulan lalu di angka Rp 97.600/kg atau tak mengalami penurunan.
"Harga sapi hidup sudah turun kok, tapi harga daging nggak turun, logikanya di mana. Kenyataannya harga daging masih stabil tinggi, harusnya turun, karena sapi hidup sudah turun jadi Rp 34.000 per kg, sebelumnya 37.000-38.000 ini sudah sebulan," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) Joni Liano kepada detikFinance, Kamis (12/6/2014)
Ia menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan harga daging di tingkat pedagang seperti di pasar becek masih tetap tinggi:
Pertama, Joni menduga ada rembesan jeroan impor yang membuat harga jeroan lokal jatuh harganya di pasar tradisional. Biasanya jeroan bisa dijual Rp 45.000-50.000/kg. Namun adanya rembesan produk jeroan impor, harganya jatuh jadi Rp 24.000/kg.
"Jadi jeroan lokal nggak laku. Akhirnya kerugian pedagang dikompensasikan dengan menaikkan harga daging," katanya
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 46 Tahun 2013 pasal 17 disebutkan: Karkas, daging dan/atau jeroan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri ini hanya dapat diimpor untuk tujuan penggunaan dan distribusi bagi industri, hotel, restoran, katering dan/atau keperluan khusus lainnya. Artinya daging beku hanya boleh masuk ke pasar industri, hotel, restoran, katering saja, dan tak boleh masuk pasar umum.
"Berdasarkan Permendag No 46, daging impor termasuk jeroan tak boleh masuk pasar tradisional, ini harus diselidiki," katanya.
Kedua, Joni menduga pihak pemerintah dalam hal ini kementerian perdagangan melakukan pencatatan survei harga yang tak komprehensif di pasar. Joni menduga para surveyor harga hanya mencatat harga daging jenis prime cut yang memang harganya jauh lebih tinggi daripada harga daging kebutuhan konsumsi rumah tangga.
"Kadang-kadang monitorig harga yang dicatat perdagangan tak sesuai, yang dicatat hanya harga prime cut, paha belakang, tapi nggak ditanya daging tetelan dan rendang, harga daging yang paling mahal dicatat. Ya jadinya harga daging terpantau mahal. Coba tanya kepada ibu-ibu," katanya.
Ketiga, faktor pedagang pasar pun menjadi penyebab harga daging di konsumen tetap tinggi. Menurut Joni, perusahaan penggemukan sapi hanya bisa memantau harga sapi ke rumah potong/jagal, namun setelah dari jagal dijual ke pedagang lapak di pasar maka tak bisa lagi dikontrol.
"Jadi kalau nanya sama pedagang, beda harga antara pagi dengan siang. Kalau pagi misalnya buka harga Rp 100.000/kg, kalau nggak ada yang beli ya diturunkan sama pedagang," katanya.
(hen/ang)