Mereka adalah orang-orang yang ikut program transmigrasi di era tahun 1987 silam. Awalnya para transmigrasn ini banyak diolok-olok oleh keluarganya sendiri maupun para tetangga. Mereka dinilai masyarakat yang tak mampu untuk bertahan hidup di Jawa.
Berbagai tudingan miring soal warga transmigrasi ini, tak menyurutkan keluarga Sunarno (44) harus meninggalkan Jawa Tengah. Orangtua Sunarno saat itu lebih memilih ikut dalam program Presiden Soeharto sebagai warga transmigrasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah kebun sawit menghasilnya diserahkan ke warga transmigrasi. Ada sekitar 29 ribu kepala keluarga transmigrasi yang diboyong ke Sumatera. PT Asian Agri sebagai pioner dalam program transmigrasi untuk wilayah Riau dan Jambi.
Satu di antaranya dari warga transmigrasi tadi adalah orangtua Sunarno. Saat itu, Sunarno hanya ikut orangtuanya. Belakangan, pria dua orang anak ini, terus berjibaku untuk membuka kebun sawit sendiri.
"Orang tua saya yang menjadi trasmigran, saat itu saya masih remaja ikut saja. Selanjutnya saya berusaha sendiri untuk membuka perkebunan sawit dengan masyarakat tempatan," kata Sunarno kepada detikFinance, Kamis (26/6/2014).
Berangkat dari menggarap lahan satu kapling (dua hektar), Sunarno penuh kesabaran untuk mengelolanya. Dari satu kapling, yang ditanam tahun 1999, kini Sunarno sudah punya 5 kapling atau sekitar 10 hektar lebih kebun sawit.
Satu kapling bisa menghasilkan minimal Rp 4 juta per bulan. Itu artinya, dia bisa menghasilkan minimal Rp 20 juta per bulannya.
"Dulu yang namanya trans kayaknya dikucilkan di kampung halaman. Alhamdulillah kini kami bisa menunjukan bahwa ikut program transmigrasi itu bisa meningkatkan ekonomi," kata Sunarno yang sudah menunaikan ibadah haji bersama istrinya dari petani sawit ini.
Kini Sunarno juga bisa mengkuliahkan putri sulungnya di Semarang. Sedangkan anak bungsunya masih sekolah di Pelalawan. Dalam keseharian Sunarno juga bisa wara wiri dengan mobil Kijang Innova.
Kesuksesan Sunarno adalah satu dari sekian ribuan keluarga transmigrasi yang ada di Sumatera. Di desa Sunarno yang dulunya era tahun 1990-an, rumah mereka hanya dinding papan, kini semuanya sudah disulap menjadi rumah yang megah. Jangan heran, bila di setiap rumah petani sawit ini terpakir mobil dari Innova sampai Fortuner.
Di Desa Tri Mulai, Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan, rata-rata anak petani sawit setingkat SMA sudah keluar Riau. Mereka umumnya masuk pesantren di kampung asal orang tua mereka. Termasuk untuk masuk perguruan tinggi, mereka juga memilih ke luar Riau.
Taraf ekonomi para keluarga transmigrasi ini, kini jauh lebih baik ketimbang keluarga mereka yang dulu mereka tinggal di Pulau Jawa. Kini kapan saja mereka rindu kampung halaman, bisa kapan saja untuk segera berangkat dengan mobil pribadi atau mereka naik pesawat.
Memiliki kebun sawit hanya satu kapling saja, para petani taraf ekonominya masih jauh lebih baik dibanding menjadi buruh di sebuah pabrik di kota. Satu kapling (dua hektar) minimal bisa menghasilkan Rp 3,5 juta sampai Rp 4 juta dalam sebulan. Itu sudah hasil bersih, setelah dipotong upah memanen dan angkutan ke lokasi pabrik kelapa sawit yang mereka jual ke PT Asian Agri.
Apa yang kini bisa dinikmati para petani trans asal Jawa tentunya butuh perjuangan keras. Mereka tidak serta merta bisa menjadi patani sukses tanpa banting tulang peras keringat.
Mereka dulunya harus berjuang meninggalkan kampung halaman hidup di bentangan kebun sawit dalam program transmigrasi yang jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota. Mereka diberikan lahan 2 hektar dan setengah hektar tapak rumah terbuat dari papan ala kadarnya.
Masa-masa pahit itu, telah mereka lewati bersama sanak keluarganya. Kini mereka dapat berekspansi untuk terus mengembangkan perkebunan sawit mereka sendiri, tanpa harus berpikir ingin kembali ke Pulau Jawa.
Kesuksesan mereka juga bisa ditunjukan ketika Yogyakarta dilanda gempa beberapa tahun lalu. Para petani transmigrasi ini, bisa menyewa satu pesawat untuk memboyong mereka dari Riau menuju Yogya. Dana sewa pesawat itu mereka kumpulkan secara patungan sesama kelompok tani sawit.
Tujuan utamanya, ingin melihat keluarga mereka yang menjadi korban gempa di Yogya. Mereka berbagai sesama keluarganya untuk meringankan beban atas musibah tersebut.
(cha/hen)