Rachmat Gobel, Menteri Perdagangan, mengatakan bahwa kenaikan harga cabai sebenarnya sudah bisa diprediksi. Biasanya harga naik pada September-Desember setiap tahunnya, karena faktor cuaca. Untuk mengatasinya, produksi harus ditingkatkan melalui bantuan teknologi.
Andi Hasanuddin Ibrahim, Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, mengatakan ada beberapa teknologi yang bisa digunakan untuk menggenjot produksi cabai nasional. Pertama adalah penggunaan benih yang tahan kelembaban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, lanjut Hasanuddin, adalah penggunaan pestisida ramah lingkungan. "Pestisida biologis untuk mengatasi serangan cendawan pada saat hujan. Kemudian benih itu juga harus disesuaikan dengan lokasi, selera, jenis cabai yang dibutuhkan oleh lokasi penanaman setempat," paparnya.
Ketiga, menurut Hasanuddin, adalah pengembangan irigasi tetes di sejumlah daerah seperti NTT dan NTB yang sebenarnya kering selama 9 bulan. Pasokan air diperoleh dari tandon (tempat penampungan).
"Dalam setahun, kekurangan cabai itu kurang lebih 10 ribu hektar. Untuk September-Februari, turunnya produksi itu setara lahan 30 ribu hektar. Oleh karena itu, 30 ribu hektar bisa kita penuhi dengan model irigasi tetes. Lokasinya harus dekat dengan perkotaan, atau boleh kita katakan mengembangkan konsep urban farming," terangnya.
Keempat, demikian Hasanuddin, adalah mengintensifkan produksi olahan cabai. Misalnya melalui penggaraman atau pengasaman sebagai salah satu langkah penyediaan cabai saat terjadi kelangkaan.
"Penggaraman dan pengasaman bisa tahan 2 tahun. Hanya saja harga pada saat murah dibeli dulu. Kita tahu restoran dan warteg tidak membeli cabai segar, tapi cabai giling. Lalu meningkatkan promosi dan sosialisasi untuk meningkatkan konsumsi cabai olahan," jelasnya.
(hds/hds)