Cara itu dilakukan Susi mengingat kasus perbudakan yang terjadi di Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR).
Susi meyakini kasus perbudakan di Benjina sudah terjadi sejak lama. Namun karena Benjina adalah wilayah terpencil di selatan pulau Ambon dan sulitnya diakses menuju tempat tersebut, kasus perbudakan baru bisa diungkap baru-baru ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya di Benjina, kasus serupa juga terjadi di Wanam, Kabupaten Merauke, Papua. Bedanya di Wanam praktik pelanggaran yang paling banyak dilakukan adalah illegal fishing dengan kapal beralat tangkap pukat milik PT Dwikarya Reksa Abadi.
Selain itu, Dwikarya juga mengerahkan kapal-kapal besar jenis tramper mengangkut langsung hasil tangkapan ikan keluar negeri secara illegal.
"Pengusaha itu jangan bekerja di tempat umpet-umpet yang susah karena di tempat terpencil memungkinkan praktik yang tidak sesuai hukum yang ada. Bisa banyak pelanggaran seperti perbudakan, kapal tramper masuk bahan pokok, miras, buah-buahan kita susah mengawasinya," tutur Susi.
Selain itu investasi pengusaha bidang perikanan di wilayah terpencil juga rawan suap. Pasalnya banyak pos-pos penjagaan dan pengawas lintas lembaga pemerintah ditempatkan di areal yang sama dengan kantor milik investor tersebut.
"Akhirnya Kepolisian, kita dan Bea Cukai dibikinin sama dia pos-pos. Lalu mereka membiayai operasional pos-pos tersebut. Mereka berpikir dengan membiayai pos-pos tersebut kita harus mengamini apa yang mereka lakukan yang melanggar hukum, oh nggak benar dong," tegas Susi.
Oleh karena itu, Susi berkeinginan agar investasi dilakukan di wilayah yang bisa dijangkau serta dimonitor oleh pemerintah pusat. Misalnya di kawasan timur Indonesia, industri perikanan akan didorong ke Sorong dan Merauke.
"Sorong nanti akan dibangun KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) sedangkan Merauke untuk penguatan wilayah perbatasan," jelas Susi.
Dihubungi secara terpisah Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja akan memindahkan pos-pos yang ditempati petugas pengawas KKP di Benjina dan Wanam. Cara itu dilakukan merespons kasus suap yang dilakukan PBR terhadap satuan petugas pengawasan termasuk dari unsur KKP.
"Sebetulnya antara otoritas kompeten (KKP) dengan yang diatur (investor) harus terpisah, tetapi kan daerah perikanan banyak di daerah remote area di mana untuk menghidupi satu kantor untuk satu perusahaan relatif lebih mahal. Tetapi dengan kejadian ini kita belajar dari pengalaman, meski mahal tetap kita akan lakukan. Walaupun hanya untuk 2 orang tetap harus ada. Sehingga independen bagi yang diatur," ungkap Sjarief.
(wij/ang)