Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan Wahyu Satryo Utomo mengatakan, seorang pelaut pemula yang baru lulus kuliah pelayaran dengan posisi perwira di bawah nakhoda, mendapatkan gaji Rp 4-5 juta/bulan.
"Itu perwira di bawah nakhoda. Itu tergantung perusahaannya. Kalau perusahaan asing bisa US$ 900-US$ 1.300 per bulan (hingga lebih dari Rp 10 juta)," kata pria yang akrab disapa Tomi ini, kala berbincang dengan detikFinance pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada yang sampai US$ 11 ribu/bulan. Itu nakhoda yang sudah kawakan," jelasnya.
Nakhoda atau pelaut tak hanya bekerja di kapal-kapal pesiar atau kapal kontainer dan sejenisnya. Nakhoda di kapal yang bekerja di offshore pengeboran minyak di tengah laut, mendapatkan gaji yang lebih besar.
"Memang yang paling mahal dia kerja di offshore, tingkat bahayanya tinggi. Dia menyandarkan kapal di tengah laut, kalau ada ombak itu mahal. Kadang dibayar per jam, sejam US$ 500 dolar, dia kerja cuma 20 hari-an, karena tantangannya lebih berat," tuturnya.
Pelaut juga punya peluang menjadi seorang dosen di sekolah pelayaran. Gajinya pun cukup besar dan tidak perlu berlayar lama-lama di laut, hingga jarang pulang. Tomi mengatakan, selain pelaut, tenaga pengajar bagi pelaut pun masih kurang.
"Permasalahan dosen itu permasalahan gaji. Mereka lebih senang berlayar daripada mengajar. Karena mereka pasti melaut. Kalau mengajar sekitar di atas Rp 20 jutaan. Kalau jadi pelaut dia lebih besar, bisa Rp 30 juta-an. Karena mereka kan bisa pelaut senior, yang sudah punya pengalaman berlayarnya 20 tahun mungkin. Senior. Cukup banyak kita butuh. Ratusan kita butuh," tutupnya.
(zul/dnl)