Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro juga pernah mengungkapkan bahwa aturan lartas yang sering dijadikan 'mainan' oknum pejabat untuk mendulang pendapatan tambahan dan memperkaya diri sendiri.โ
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Edy Putra Irawady juga mengatakan permasalahan yang menyangkut impor barang larangan terbatas dan pos-pos celah terjadinya 'permainan' di kalangan oknum pejabat pemberi izin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya sudah ada INSW (Indonesia National Single Window) untuk mengetahui jenis barang yang lartas. Masalahnya, INSW ini nggak diperbaharui, kementerian dan lembaga terkait jarang yang meng-upload data barang yang masuk lartas," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Akibatnya, banyak pelaku impor yang baru mengetahui barangnya masuk kelompok larangan terbatas setelah tiba di pelabuhan. "Ini salah satu yang bikin kenapa importir baru urus perizinan lartas setelah barang tiba bukan saat proses pengiriman," sambungnya.
Masalah kedua adalah soal ketegasan petugas. Ia menyebut, barang lartas ada yang dibatasi secara musiman ada yang dibatasi secara kuota.
Contoh barang yang dibatasi musiman adalah produk pangan seperti beras hingga gula yang hanya boleh diimpor pada musim-musim tertentu sesuai kebijakan instansi terkait.โ
Contoh barang yang dibatasi secara kuota seperti minuman beralkohol yang jumlah impornya sepanjang tahun dibatasi pada angka tertentu sesuai ketentuan intansi terkait seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
"Di sini masalah yang ditemui ketidaktegasan petugasnya. Barang sudah melebihi kuota atau barang bukan musimnya harusnya tidak masuk tapi tetap bisa masuk," katanya.
Kondisi ini salah satu pemicu yang menyebabkan proses Dwelling Time menjadi lama berbuah kemarahan Presiden Joko Widodo marah besar pada 27 Juni 2015 lalu. Rata-rata dwelling time pada Juni sempat mencapai 5,5 hari, padahal target pemerintah mencapai rata-rata 4,17 hari pada tahun ini
"Karena ada proses negosiasi dan lobi supaya barang bisa masuk. Kalau petugasnya tegas, ini barang bisa masuk silakan masuk. Atau ini barang tidak bisa masuk silakan dikembalikan atau dimusnahkan sesuai ketentuannya," tutur dia.
Celakanya, aturan larangan terbatas ini bersifat transaksional. Maksudnya, penerbitan izin dilakukan setiap kali ada kegiatan impor.
"Jadi misalnya ada barang tergolong lartas, misalnya gula. Pelaku importir tidak mengurus izin sekali ketika mendaftarkan diri untuk izin 1 kali untuk satu produk gula itu. Tapi mendaftarkan izin berkali-kali setiap dia mau melakukan impor," tutur dia.โ
Kondisi ini, lanjutnya bisa ditemui pada beberapa pos pemeriksaan. Pertama ketika barang baru datang di pelabuhan. Barang yang masuk membutuhkan laporan lembaga surveyor (LS) untuk mengetahui jenis-jenis barang yang termuat dalam kontainer impor yang bersangkutan.
"Untuk mengetahui barang masuk lartas atau tidak itu butuh LS. Yang jadi masalah, LS ini nggak diketahui apakah sebagai berkas pendamping bagian persyaratan alau justru perizinan itu sendiri. LS juga nggak jelas terbitnya," tutur dia.
Meskipun telah memasuki tahap pemeriksaan untuk mendapatak LS, ternyata kontainer impor masih harus menghadapi serangkaian pemeriksaan fisik lain dari sejumlah instansi terkait seperti Badan POM, Badan Karantina Ikan, Bandan Karantina Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan sejumlah Kementerian dan Lembaga Pemerintah lainnya.
"Supaya lebih pasti, biasanya dia (imortir) langsung melakukan lobi ke level pimpinan," tutur dia.
Belum lagi ada pemeriksaan SNI alias Standar Nasional Indonesia yang mengharuskan dilakukan lagi pemeriksaan fisik di lokasi apakah komponen barang yang diimpor sesuai ketentuan SNI atau tidak. "Pemeriksaannya harus di lokasi," tutur dia.
Semua proses pemeriksaan tidak dilakukan terpadu oleh satu lembaga khusus misalnya Otoritas Pelabuhan (OP). Pemeriksaan fisik dilakukan mandiri oleh masing-masing Kementerian Lembaga (K/L) di lapangan. Lantaran masingโ K/L melakukan pemeriksaan sendiri, tak jarang terjadi pemeriksaan ganda untuk satu jenis barang yang diimpor.
"Seperti yang disebutkan asosiasi misalnya untuk impor saus ikan. Sudah mendapat persetujuan dari Badan POM, masih harus diperiksa lagi oleh Badan Karantina Ikan karena di situ ada bahan baku ikannya. Padahal itu tidak perlu," tuturnya.
Setelah rangkaian pemeriksaan dan mengantongi berbagai surat dan perizinan dari K/L tersebut, baru importir bisa mengajukan izin keluar barang ke bea cukai. Pada tahap ini lah proses pre custom clearance dianggap selesai.
Saat ini timnya di bawah arahan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil sedang fokus menyiapkan sistem perizinan online untuk mengurangi celah terjadinya negosiasi dan lobi perizinan yang biasa dijadikan wahana 'permainan' oknum pejabat untuk memperkaya diri sendiri.
"Kalau sudah online semua, barang dicek fisik langsung ketahuan dia masuk lartas, dia bebas lartas. Jadi nggak ada waktu untuk terjadinya nego-nego, karena langsung ketahuan status barangnya," katanya.
Selain online, aturan pemeriksaan juga akan disederhanakan. "Misalnya untuk pemeriksaan yang sifatnya sejenis disatukan. Pemeriksaan yang tidak perlu di-cut," tegasnya.
Terakhir memastikan seluruh K/L terkait bersinergi di bawah satu komando lembaga perizinan yang diberi nama National Single Window (NSW). "NSW saya berbeda jauh dengan INSW-nya Pak Lino (Dirut Pelindo II). Kalau INSW Pak Lino hanya untuk Tanjung Priok saja. Kalau NSW ini berlaku nasional. Dan yang pasti data lartas harus diperbaharui, K/L harus meng-upload datanya, tidak seperti sekarang," tegasnya.
Untuk memastikan ketiga hal tersebut berjalan baik, perlu ditunjuk satu lembaga yang berwenang melakukan koordinasi tersebut. "Lembaga yang jadi NSW nanti harus yang punya legitimasi. Bagaimana dia bisa mengatur lembaga lain kalau tidak punya legitimasi. Ini yang sedang disiapkan Perpresnya siapa lembaga yang akan ditunjuk," katanya.
Proses dwelling time mencakup pre custome yaitu proses dokumen barang, lalu custome atau tahap pemeriksaan bea cukai, hingga post custome yaitu proses keluar barang. Kondisi di sekitar pelabuhan dianggap juga mempengaruhi proses post custome, meski rangkaian terlama dwelling time ada di tahap pre customes.
(dna/hen)