Ramainya pemberitaan media tentang kenaikan harga daging di beberapa kota di Indonesia terutama di Jabodetabek yang mencapai Rp 140.000 per kg yang memicu mogok dagang sejumlah pedagang daging di beberapa pasar penting di sekitar Jakarta.
Kehebohan ini semakin meningkat karena wilayah yang mengalami kelangkaan daging adalah di sekitar kota besar yang memang penduduknya memiliki ketergantungan terhadap konsumsi daging sapi. Pembicaraan soal daging sapi selalu mencuat kepermukaan dan menjadi pemberitaan yang menarik kalau berkaitan dengan wilayah DKI Jakarta, Jabar dan Banten.
Imbas dari masalah kelangkaan daging di pasar bukan hanya menyebabkan harga daging yang tinggi tetapi juga menyebabkan kekhawatiran bagi para pelaku pedagang bakso. Konsumsi daging segar di sekitar Jawa Barat diperkirakan sekitar 80% digunakan untuk produksi bakso. Bakso merupakan produk olahan hasil ternak yang paling digemari oleh berbagai kalangan karena selain menciptakan suasana hiburan dalam mengkonsumsinya juga harganya relatif terjangkau masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaan lainnya apakah daging sapi satu-satunya sumber protein untuk memenuhi kebutuhan nutrien bagi tubuh kita? Pertanyaan ini setidaknya sering disampaikan oleh beberapa kalangan yang sempat menghubungi saya secara sengaja untuk mengetahui kondisi supply daging sapi atau karena memang berhubungan dengan bisnisnya.
Kelangkaan daging sapi di sekitar Jabodetabek menurut pandangan penulis disebabkan beberapa hal antara lain, saat ini menjelang hari raya Idul Adha sehingga peternak sapi lokal menahan penjualan sapi atau pemotongan sapi karena menunggu harga jual terbaik dalam siklus produksi tahunan sapi.
Harga sapi per kilo gram bobot hidup dalam kondisi biasa sekitar Rp 32.000-36.000, namun pada saat musim Idul Adha harga sapi bisa mencapai Rp 46.000-52.000 per kg bobot hidup. Maka bagi peternak dengan alassan apapun akan menahan penjualan sapi sampai Idul Adha nanti.
Hal lain yang menyebabkan kelangkaan pasok sapi lokal adalah kemungkinan karena saat ini sedang berlangsungnya program gerakan penyerentakan berahi (GBIB) dengan akseptor sapi yang diprogramkan untuk di inseminasi buatan sekitar 600.000 induk seluruh Indonesia.
Proses yang ditunggu saat ini untuk menghasilkan pedet setidaknya 400.000 ekor pada tahun, menjadi harapan peningkatan populasi sapi. Seperti yang sering diberitakan pada media dan menjadi pembicaraan dikalangan pemangku kepentingan peternakan sapi, bahwa selama ini betina produktif banyak dipotong untuk memenuhi daging lokal di Indonesia, karena sapi jantan ditunda pemotongannya untuk Iedul Adha.
Dengan adanya program GBIB ini maka banyak sapi betina produktif yang terlindungi dan diharapkan segera menghasilkan pedet di tahun depan. Kelangkaan daging sapi lokal ini jika dikaitkan dengan GBIB menunjukan bahwa benar sapi yang dipotong selama ini banyak sapi betina.
Alasan ketiga kelangkaan daging dari pasokan sapi lokal adalah karena banyak sapi lokal yang dipotong yang berasal dari peternak non perusahaan feedlot selama ini masih dibawah bobot potong yang secara ekonomis belum layak.
Hasi kajian Fakultas Peternakan IPB dari 12 RPH di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2013 menunjukkan bahwa hanya sekitar 15% sapi yang layak potong secara ekonomis dengan persentase karkas paling tinggi, sedangkan sekitar 36% dalam kondisi bobot potong sedang dengan nilai ekonomis yang belum maksimal dan sisanya termasuk sapi yang dipotong dengan skor kondisi tubuh (body condition score) yang rendah dan bobot badan yang masih dibawah kelayakan untuk dipotong. Terkait hal ini maka ketersediaan pakan yang layak bagi ternak yang dipelihara oleh peternak menjadi hal penting.
Alasan lainnya yang menyebabkan supply daging dari sapi lokal rendah adalah karena logistik ternak di negara kita masih belum memadai. Sapi impor yang dibawa dari Australian sampai di Tanjung Priok dapat meningkat bobot badannya karena sapi merasa nyaman selama pengangkutan akibat kapal pengangkut yang dirancang khusus untuk sapi yang memenuhi kaidah kesejahteraan ternak (animal welfare). Namun sebaliknya sapi yang diangkut dari NTT dan NTB diangkut dengan kapal tradisional yang berlabu di Tanjung Perak Surabaya.
Dari Surabaya sapi kemudian diangkut melalui darat dengan kendaraan truk yang bukan dirancang untuk angkutan sapi. Beberapa penelitian mengungkapkan kehilangan bobot badan sapi bisa mencapai 12% akibat pengangkutan seperti ini.
Sapi juga diangkut terlalu jauh melalui transportasi darat yaitu dari Surabaya ke Jabodetabek, padahal untuk memperpendek jarak tempuh darat, sebaiknya pengangkutan sapi bisa sampai pelabuhan di Cirebon. Logistik ternak merupakan aspek yang sangat menarik dibahas karena manajemen logistik ternak yang tidak standar menyebabkan kerugian besar, bukan saja karena kehilangan bobot badan sapi, tetapi juga harga sapi menjadi mahal akibat praktek percaloan yang dilakukan oleh perantara (middle man).
Terkait hal ini sedang dirancang program studi Logistik Peternakan yang akan dibuka tahun 2016 di Fakultas Peternakan IPB yang bekerja sama dengan para ahli dari beberapa universitas di Belanda. Diharapkan program studi ini akan menghasilkan SDM yang kompeten di bidang logistik ternak dan produk asal ternak mulai dari pra-farm hingga konsumen akhir.
Peningkatan Populasi Sapi Melalui Revitalisasi Padang Penggembalaan
Terlepas dari ada atau tidak adanya “pembuat kegaduhan” terkait persapian di Indonesia, dengan melihat gejolak persapian yang selalu terulang setiap tahun, maka perlu langkah serius yang dilakukan oleh pamerintah yang didukung oleh pemangku kepentingan bukan hanya untuk jangka pendek memenuhi kebutuhan daging dadakan, tetapi juga perlu dirancang peningkatan populasi sapi melalui sistem produksi yang efisien dan bersaing dengan sistem produksi di negara lain seperti Australia.
Berdasarkan penelitian di lapangan selama kurang lebih 15 tahun di berbagai wilayah di Indonesia, menunjukkan bahwa sistem produksi yang paling efisien dan kompetitif untuk meningkatkan populasi sapi adalah dengan sistem produksi pembiakan di padang penggembalaan, yang selanjutnya bakalan dari sistem ini digemukkan secara intensif.
Jadi tidak memelihara sapi untuk seluruh masa hidupnya secara intensif, kecuali untuk produksi daging istimewa seperti sapi wagyu. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi di padang penggembalaan di Australia hanya membutuhkan biaya AUS$ 2,8 per minggu per ekor atau sekitar Rp. 4000-4500 per per hari per ekor, sedangkan pemeliharaan di padang penggembalaan di NTB (Dompu), NTT (Timor Tengah Selatan) dan Sulawesi Tenggara (Bombana) dan Sulawesi Selatan (Sidrap) memerlukan biaya pemeliharaan antara Rp. 1500-4000 per hari per ekor.
Provinsi-provinsi ini pada kenyataannya merupakan penyuplai sapi lokal yang sangat penting bagi Indonesia. Negara penghasil sapi manapun di dunia seperti Brazil, Mongolia China, dan negara di Amerika Utara menggunakan padang penggembalaan sebagai sarana produksi yang efisien. Bandingkan dengan pemeliharaan sapi secara intensif di Pulau Jawa bisa mencapai Rp. 8000-14.000 per hari per ekor.
Kondisi padang penggembalaan di Indonesia bervariasi dengan kapasitas tampung berkisar antara 0,2-0,4 ST (ST= satuan ternak adalah setara dengan sapi dewasa 400 kg) per hektar pada musim kemarau dan 0,75-1,2 ST per ha per tahun. Secara umum padang penggembalaan berada di wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur. Banyak dari areal padang penggembalaan pemanfaatannya masih belum sesuai dengan kapasitas tampungnya. Sebagian pemanfaatannya ada yang masih dibawah kapasitas tampung (undergrazed) dan sebagian sudah melebihi kapasitas tampung (overgrazed).
Kedua kondisi tersebut mengakibatkan padang penggembalaan alam rusak dan tidak berfungsi bahkan mengalami forestrasi (menjadi hutan sekunder). Kerusakan ini dipicu karena pertumbuhan gulma terutama jenis Cromolaena dan vegetasi lain yang tidak diharapkan.
Masalah lain dari padang penggembalaan adalah alih fungsi lahan karena banyak padang penggembalaan di Indonesia belum belum memeiliki tata ruang dan tidak bersertifikat. Oleh karena itu saya sangat mengapresiasi Menteri Agraria dan Tata Ruang/ BPN yang memberikan perhatian kepada padang penggembalaan di Indoensia dengan mendata dan mengeluarkan akan sertifikat.
Sebenarya dibandingkan dengan padang penggembalaan di Australia, padang penggembalaan alam di Indonesia lebih potensial, karena curah hujan di negeri kita masih lebih tinggi dan merata dibandingkan di beberapa padang penggembalaan di Australia, yang sering mengalami kekeringan yang luar biasa.
Selain itu banyak vegetasi jebis rumput dan legum tropis baik lokal maupun introduksi yang bisa tumbuh dan tahan terhadap kondisi agroekologi di lokasi padang penggembalaan. Oleh karena itu perlu perhatian dan upaya keras yang terus menerus dari pemerintah untuk melakukan revitaslisasi padang penggembalaan seperti yang sudah dilakukan oleh kementrian pertanian sejak tahun 2007.
Diharapkan dengan program revitalisasi padang penggembalaan yang sudah dan akan dilakukan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap penyediaan daging sapi. Untuk program seperti ini memerlukan biaya yang cukup tinggi dan multi years serta komitmen yang kuat. Upaya ini akan sangat signifikan meningkatkan populasi sapi secara kompetitif.
Luas lahan padang penggembalaan di Indonesia secara statistik tidak jelas, ada yang melaporkan 2,3 juta ha, laporan lainnya 3,8 juta ha. Namun yang jelas juga banyak dilaporkan dan hasil penelitian menunjukkan adanya pengurangan sekitar 2,3% dalam setiap 5 tahun sejak 2003.
Potensi lahan lain yang dapat digunakan sebagai padang penggembalaan adalah lahan pasca tambang. Lahan ini banyak yang siap digunakan untuk padang penggembalaan karena hampir banyak perusahaan tambang yang memiliki kemampuan dalam peralatan pengolah lahan dan merevegetasi lahan pasca tambangnya dengan menggunakan tanaman pakan.
Hasil kajian menunjukkan bahwa lahan pasca tambang batubara di Kaltim Prima Coal tahun 2010 yang direvegetasi dengan baik menggunakan rumput Brachiaria sp. aman untuk dijadikan sebagai padang pengembalaan dan tidak berdampak pada reproduksi ternak serta tidak ada akumulasi logam berbahaya pada tubuh sapi.
Dukungan dari para ahli padang penggembalaan di Indonesia sangat penting dalam perencanaan, pemilihan spesies tanaman pakan yang sesuai dengan agroekologinya dan pengelolaan padang penggembalaan bersama kelompok peternak, sehingga menghasilkan satu anak dari setiap satu induk untuk setiap tahun.
Populasi ternak sapi lebih mudah diperbanyak dengan pemeliharaan padang penggembalaan, karena perilaku ternak sapi yang dapat mencari pakan sendiri (tersedia di padang gembala) dan mengayomi anaknya dapat mengurangi curahan waktu dan pekerjaan bagi peternak, sehingga mudah berkembang menjadi stok hidup, itu sebabnya peternakan sapi sering disebut livestock.
Sekali kelompok ternak sapi dapat hidup di padang penggembalaan maka setiap saat kelahiran individu baru sapi akan terjadi dan melipat jumlahnya tanpa biaya yang memberatkan keuangan peternak. Pemeliharaan di padang penggembalaan juga sangat direkomendasi karena memenuhi kaidah kesejahteraan ternak dan dapat menghasilkan daging sehat.
Persaingan Bahan Pakan
Di tengah gencarnya upaya peningkatan ketersediaan daging dan peningkatan populasi sapi nasional, diidentifikasi salah satu persoalannya juga adalah ketersediaan bahan pakan terutama bahan konsentrat berkualitas tinggi. Fluktuasi suplai bahan pakan lokal akibat musim dan sistem tataniaganya selalu menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan.
Pakan memegang peranan penting untuk usaha ternak, dan mengalami pergeseran kontribusinya dalam biaya produksi dari 60-65% menjadi 68-72% dalam sepuluh tahun terakhir. Tidak heran kalau masalah bahan pakan konsentrat ini menjadi strategis dalam bisnis peternakan.
Sumber bahan pakan konsentrat di Indonesia pada umumnya berasal dari hasil ikutan agroindustri seperti pabrik pengolahan kelapa sawit, pabrik tapioka, pabrik kopi, perkebunan kakao, pengilingan padi dan lainnya. Ketersediaan bahan pakan ini saat ini dan kemungkinan kedepan akan mengalami keterbatasan jika tidak segera dibuat langkah strategis oleh pemerintah terutama dalam penataan sistem tataniaga dan logistiknya melalui regulasi yang tepat.
Gejala kompetisi penggunaan bahan pakan akan terasa ketika bioindustri dengan memanfaatkan teknologi biorefinary yang mampu mengubah biomasa limbah menjadi produk bernilai tinggi untuk selain bahan pakan (kosmetik, bioenergi, bahan farmasi, pangan fungsional) semakin berkembang. Besar kemungkinan bila Industri ini berkembang di luar Indonesia maka bahan limbah agroindustri yang tadinya untuk pakan dalam negeri diekspor untuk bahan baku bioindustri di luar negeri. Hal ini tentunya didorong oleh harga bahan yang lebih tinggi dengan diekspor dari pada digunakan di dalam negeri.
Pemerintah harus mengantisipasi kondisi ini secepatnya agar program swasembada daging sapi dapat terlaksana dengan baik dan memenuhi target. Jadi dari perspektif penyediaan pakan untuk sapi pemerintah perlu memiliki strategi untuk mengamankan pakan murah dan pemeliharaan efisien pada fase pembiakan di peternakan rakyat, dan regulasi dalam tataniaga bahan pakan untuk keperluan sistem produksi penggemukan (feedlot).
Mitigasi Kelangkaan Daging Sapi Sementara
Terkait dengan kondisi saat ini yang mengalami kekurangan daging, maka pemerintah harus tetap berhati-hati, jangan sampai ada sekelompok spekulan yang menunggu langkah salah dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah sebagai regulator harus memiliki data yang akurat sebagai basis pengaturan sapi dan dagingnya.
Impor daging bukan merupakan pilihan yang tepat untuk mengendalikan harga (ini terbukti beberapa waktu lalu daging diimport tetap saja harga tinggi), tetapi sebaiknya mendorong agar stok sapi di perusahaan feedlot segera dikeluarkan dengan memberikan insentif bagi perusahaan yang membantu suplai daging saat ini diberi kemudahan dan prioritas bila dilakukan import sapi bakalan ditahun mendatang. Import sapi bakalan mungkin masih relatif direkomendasikan dari pada impor daging, karena masih memberikan kesempatan bagi para peternak dan perusahaan feedlot untuk mengupayakan nilai tambah di tanah air.
Namun upaya import sapi potong bakalan hendaknya dilakukan hanya dalam rangka menjembatani kondisi sapi lokal sedang mengalami proses penundaan jual atau potong (stocking) dan proses berbiak (restocking), sehingga terjadi keseimbangan antara suplai sapi lokal dan sapi potong bakalan import dengan imbangan yang masih lebih besar porsi sapi lokalnya.
Kemungkinan ritme suplai sapi seperti ini akan berlangsung secara siklik, dimana suplai sapi lokal akan terjadi sepanjang tahun kecuali Iedul Adha dan sapi import diharapkan hanya untuk mitigasi kelangkaan pada masa harga sapi lokal meningkat (peak season) seperti Iedul Adha atau Iedul Fitri. Pengendalian suplai daging seperti ini diharapkan dapat berdampak pada ketersediaan daging sepanjang tahun teru tanpamerugikan peternak lokal dan mengurangi resiko akibat perilaku pencari rente.
Secara paralel pemerintah sebaiknya terus melakukan pembinaan kepada peternak dengan mengadakan sapi bakalan induk atau bibit yang disebarkan di padang penggembalaan atau peternak yang sudah terbina dengan baik. Masih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pembiakan sapi di Indonesia. Usaha pembiakan dan pembibitan (breeding) sapi akan memakan waktu lama sehingga perputaran uang sangat lambat. Banyak pelaku usaha menghindari pembibitan dan pembiakan ini karena masa pengembalian modal sangat lama.
Akhirnya tugas pembiakan sapi diemban oleh peternakan rakyat, padahal bagi peternak kebutuhan harian (resiko dapur) pasti akan muncul setiap hari dan mereka tidak memperoleh penghasilan baik harian maupun bulanan dari pembeiakan sapi. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya bukan hanya membina peternak dari aspek teknis saja tetapi juga harus mengupayakan insentif lain seperti beasiswa bagi anak peternak yang menjadi pembiak (breeder) dan mempermudah pengurusan kepesertaan BPJS, bahkan lebih jauh peternak harus diberi akses untuk memperjuangkan eksistensi mereka sebagai pembiak.
Upaya ini setahu saya belum pernah dilakukan. Yang pernah dilakukan antara lain berupa insentif kredit deperti KUPS namun ternyata kurang berhasil, karena memerlukan jaminan dan tidak memperhatikan aspek eksistensi peternak sebagai individu yang memerlukan kebutuhan ekonomi harian. Pendek kata kalau populasi sapi di Indonesia ingin bertambah secara signifikan maka pemerintah wajib memperhatikan kesejahteraan peternak pembiak.
Alternatif Daging Sapi
Rasa daging sapi memang tidak bisa digantikan oleh daging ternak lain. Oleh karena itu ketika daging sapi langka atau mahal maka seolah-olah dunia ini akan runtuh. Daging sapi relatif lebih luas spektrum penggunaannya untuk produk olahan dibandingkan dengan dengan daging domba atau kambing. Daging domba dan kambing belum banyak diolah dan dijual secara komersial, maka cita rasanya belum banyak dikenal orang.
Terkait dengan hal ini alasan pemenuhan kebutuhan nutrisi dari daging domba dan kambing sebagai alternatif daging sapi tetap belum bisa diterima, terlebih ada isu kolesterol yang sebenarnya tidak selalu benar. Oleh karena itu rekayasa kuliner terhadap daging domba sudah banyak dilakukan dan berhasil membangkitkan selera bagi konsumen.
Kuliner yang dimaksud seperti sate domba/kambing balibu (bawah lima bulan), dengan daging yang empuk dan sehat. Pemerintah melalui lembaga pendidikan dan penelitian juga perlu melakukan edukasi terhadap konsumen agar lebih bisa menerima beragam sumber protein hewani lain selain daging sapi.
Mudah-mudahan dengan adanya kejadian mogok pedagang sapi dan kenaikan harga daging sapi menjadi pelajaran penting bagi pemerintah, produsen dan konsumen daging sapi.
Penulis adalah Prof. Dr. Luki Abdullah (Guru Besar dan Dekan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; Direktur Animal Logistic Indonesia-Netherland; Sekjen Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI).
(hen/hen)