"Ya logika bisnis saja, Anda mau bikin proyek Rp 7 triliun, tapi Anda hanya pegang Rp 1,5 triliun, kira-kira feasible nggak? Pinjam kredit bank saja 30%-70%. Kalau kamu minjem ke bank jaminan kamu apa?" tanya Ahok sebelum rapat Koordinasi Bidang Perekonomian soal LRT di Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (20/8/2015)
Menurut Ahok perlu ada kejelasan soal konsekuesi penggunaan lahan Pemprov DKI Jakarta untuk proyek LRT. Salah satunya adalah soal jaminan bahwa bila proyek LRT mangkrak atau gagal maka Pemprov DKI berhak membongkarnya. Hal semacam ini pernah terjadi pada kasus proyek monorel, Pemprov DKI harus menanggung atau membeli konstruksi proyek monorel yang mangkrak dalam jumlah dana ratusan miliar rupiah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahok mengatakan seharusnya proyek LRT Jakarta dibangun prasarana dasarnya seperti jalur rel dibiayai oleh APBD dan APBN. Sedangkan sarana kereta disiapkan oleh Adhi Karya. Artinya Adhi Karya tak perlu berperan seluruhnya sebagai pengembang, kontraktor, namun hanya sebagai operator kereta.
"Kenapa harus ribet, kenapa nggak bangun prasarana saja? APBN-APBD, kalau Adhi Karya mau masuk sebagai operator silakan lelang, lelang rolling stock-nya saja, mana ada sih perusahaan bisa bangun dan kuasai prasarana dan rolling stock? Enggak mungkin," tegas Ahok.
Menurut Ahok, 70%-80% investasi proyek LRT akan terkonsentrasi pada infrastruktur jalur kereta. Namun dengan kondisi Adhi Karya tak punya hak pada properti, maka sangat sulit untung bila mengerjakannya sendirian.
"LRT di Hong Kong bisa untung karena ada properti, pertanyaan saya Adhi Karya kuasai properti sepanjang jalan itu nggak? Nggak kan," kata Ahok.
(feb/hen)