Lonjakan harga cabai rawit yang mencapai Rp 60.000 per kg hanya terjadi di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi). Apa alasannya?
"Masyarakat tidak usah panik, karena hanya Jabodetabek saja. Daerah lain aman kok," ujar Dirjen Holtikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Spundik Sujono Kamino, di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Sabtu (21/8/2015).
Menurut Sujono, konsumsi cabai rawit di kawasan Jabodetabek lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Maka dari itu, volume pasokan dari daerah produsen juga lebih banyak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena di pasar dan petani sudah dikuasi penebas dan pengepul dan menguasai layer-layer dari petani hingga pasar, makanya mahal. Itu layer bisa sampai 6-7 tahapan. Wajar harga rawit tinggi. Ini cuma di Jakarta dan sekitarnya. Kalau daerah lain nggak ada seperti itu," paparnya.
Ini memang tengah menjadi perhatian khusus dari Kementan. Untuk jangka pendek, harga tinggi ini ditangani dengan operasi pasar. Harga cabai rawit dijual dengan Rp 40.000/kg.
"Maka disampaikan ke masyarakat, bahwa harga sebenarnya cuma tinggi di Jakarta dan sekitarnya. Kami akan berantas rantai pasok, dan batasi ruang gerak pengepul dan penebas, makanya kita operasi di pasar induk. Tekad kami jangan sampai harga diatur oleh rente. Karena harga komoditas diatur oleh pemerintah," terang Sujono
Secara jangka menengah panjang, Kementan juga telah menyiapkan beberapa lahan baru untuk cabai rawit, serta mendorong masyarakat untuk menanam cabai rawit di pekarangan rumah.
"Kami Kementan tidak pernah tidur, kita kawal terus holtikultura termasuk cabai rawit. Selain menambah lahan, di daerah kita gerakkan menanam cabai rawit di pekarangan," tukasnya.
(mkl/dnl)