Curhat Rizal Ramli: Kerja 1 Minggu Cukup Buat Jadi Aktivis dan Pacaran

Curhat Rizal Ramli: Kerja 1 Minggu Cukup Buat Jadi Aktivis dan Pacaran

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 31 Agu 2015 13:01 WIB
Jakarta - Di hadapan mahasiswa baru Universitas Mercu Buana di Kampus Jatisampurna, Joglo, Jakarta Barat, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli 'curhat' tentang masa-masa sulitnya saat menjadi mahasiswa dulu.

Rizal menuturkan bahwa dirinya tak memiliki uang sama sekali untuk membayar uang masuk kuliah ketika diterima sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973. Dia harus bekerja dulu selama 6 bulan menjadi mandor percetakan untuk membayar kuliah dan biaya hidup 6 bulan, setelah itu tak punya uang lagi.

"Waktu saya diterima di ITB tahun 1973, saya nggak punya uang buat bayar uang masuk. Saya kerja jadi mandor di percetakan di Kemayoran. Kemudian punya uang, bayar uang kuliah, bisa hidup 6 bulan, habis itu nggak punya uang lagi," tutur Rizal dalam kuliah umumnya kepada mahasiswa baru di Universitas Mercu Buana, Jakarta, Senin (31/8/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guna meneruskan kuliah dan membiayai hidupnya sehari-hari, Rizal pun memutar otak mencari jalan. Akhirnya dia mendapat ide untuk mencari uang dari menjual jasa menerjemahkan bahasa Inggris. Awalnya dia kesulitan, namun akihirnya dia mahir menerjemahkan teks berbahasa Inggris.

"Kebetulan bahasa Inggris saya bagus. Akhirnya saya jadi penerjemah bahasa inggris. Mula-mula lama, 2 jam menerjemahkan 1 halaman, lama-lama 1 menit 1 halaman," ucapnya.

Dari pekerjaan sebagai penerjemah itulah akhirnya Rizal bisa melanjutkan kuliah hingga lulus dan menyambung hidupnya. Meski bekerja, Rizal masih bisa membagi waktu untuk menjadi aktivis mahasiswa, dan juga untuk pacaran. "Kerja 1 minggu, cukup juga buat jadi aktivis, cukup buat pacaran," ungkapnya.

Dari cerita masa sulitnya ini, Rizal berpesan kepada para mahasiswa baru agar menjadikan kesulitan sebagai kesempatan untuk melakukan transformasi menjadi lebih baik, bukan malah tenggelam dalam kesulitan.

"Kesulitan adalah kesempatan untuk melakukan transformasi. Krisis itu momentum untuk jadi lebih hebat. Tapi kebanyakan pemimpin tenggelam bersama krisis," pungkasnya.

(rrd/rrd)

Hide Ads