Kok bisa murah? Karena tanpa perlu bayar bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajah penghasilan (PPh)
"Kalau Rp 200 juta per kontainer itu betul. Itu namanya tarif under invoice. Atau istilahnya tarif borongan. Bayar Rp 200 juta maka satu kontainer barang bisa masuk," ungkap Ernovian G Ismy, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dihubungi detikFinance, Senin (12/10/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Padahal harusnya tiap kontainer itu bayar bea masuk produk garmen 25%, PPN 10%, ditambah PPh 2,5%. Ini nggak dibayarkan kalo produk ilegal. Harusnya bayar, jadinya kan ngga bersaing sama produk legal. Kalau bayar itu semua secara legal bisa sampai Rp 400 jutaan," jelasnya.
Penyebab lain mengapa marak impor pakaian bekas, menurut Ernov selain mudah ditembusnya pengawasan masuknya produk illegal ke Indonesia, juga karena pakaian merupakan produk jadi yang mudah dipasarkan.
"Pakaian kan gampang untuk langsung dijual. Lain kalau impor benang, pembelinya industri garmen aja," tambahnya.
Menurutnya, banjir produk impor ilegal ini termasuk salah satu penyebab banyaknya pabrik garmen tutup. Saat ini industri garmen untuk menengah dan menengah ke bawah sudah mati.
"Penyebab pabrik garmen banyak yang tutup ya karena faktor ini juga. 250 juta jiwa itu pasar besar loh buat negara lain. Yang jelas saat ini pangsa pasar produk kelas menengah dan bawah produsen berorientasi lokal mati, sudah diambil produk impor," jelasnya.
Ernov mengatakan saatnya pemerintah mulai turun ke pasar untuk cek peredaran barang impor ilegal dari ujung hingga pangkalnya.
"Cek distributor, agen, atau pedagang itu punya faktur bayar pajak impor atau nggak. Tanya masuknya dari mana. Jadi ambil tindakannya jelas. Jangan lagi cari salah siapa," ujarnya.
Peran asosiasi, lanjutnya, membantu pemerintah memberi informasi awal di mana ada peredaran barang impor ilegal. Sebab asosiasi yang paling tahu letak pakaian-pakaian ilegal tersebut.
(ang/ang)