Lalu pilihan mana yang menguntungkan dan merugikan?
detikFinance bersama Center for Indonesia Taxation Analysin (CITA) membuat simulasi dari kedua skema tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Istri karyawati ikut suami (1 NPWP)
Penghasilan netto suami = 400.000.000
PTKP atau penghasilan tidak kena pajak (K/3) = 48.000.000
Penghasilan kena pajak = 352.000.000
PPh Terutang
5% X 50.000.000 = 2.500.000
15% X 200.000.000 = 30.000.000
25% X 102.000.000 = 25.500.000
Jumlah = 58.000.000
Penghasilan netto istri = 200.000.000
PTKP (K) = 36.000.000
Penghasilan kena pajak = 164.000.000
PPh Terutang
5% X 50.000.000 = 2.500.000
15% X 114.000.000 = 17.100.000
Jumlah = 19.600.000
Total beban pajak keluarga = 77.600.000
2. Istri karyawati dengan NPWP sendiri (2 NPWP)
Perhitungan pajak saat mengisi SPT
Penghasilan netto suami = Rp 400.000.000
Penghasilan netto istri = Rp 200.000.000
Jumlah = 600.000.000
PTKP (K/I/3) = 84.000.000
Penghasilan kena pajak = 516.000.000
PPh terutang
5% X 50.000.000 = 2.500.000
15% X 200.000.000 = 30.000.000
25% X 250.000.000 = 62.500.000
30% X 16.000.000 = 4.800.000
Jumlah = 99.800.000
Beban PPh suami
Penghasilan netto suami dibagi penghasilan netto gabungan dikali PPh terutang = 66.533.333
Beban PPh istri
Penghasilan netto istri dibagi penghasilan netto gabungan dikali PPh terutang = 33.266.666
Jadi akibat penghitungan gabungan, maka keluarga akan menanggung beban pajak lebih besar.
Selisih rumah tangga = 22.200.000
Selisih beban pajak istri = 13.666.666
Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo menjelaskan, ketika istri juga ikut memiliki NPWP yang terpisah, maka ada dua beban yang harus diterima, yakni beban keluarga dan istri. Di samping juga kerumitan administrasi.
"Penyelesaian terbaik sebenarnya peraturan Dirjen Pajak menegaskan khusus istri sebagai karyawati yang telah dipotong pemberi kerja, berlaku seperti istri yang ber-NPWP ikut suami dianggap final," ujarnya kepada detikFinance, Senin (1/2/2016). (mkl/wdl)