Berdasarkan data PT Pelindo III (Persero), kontribusi terbesar pemicu dwell time ada di proses pre customs clearance atau terkait perizinan. Selama Bulan Januari-April 2016, pre customs berkontribusi 3-4 hari dari total angka dwell time di Pelabuhan Perak, tertinggi berada di Bulan Januari.
Kepala Humas Pelindo III, Edi Priyanto menjelaskan di sisi pre customs, umumnya para importir belum mengurus izin-izin saat barang tiba di pelabuhan. Padahal, proses pre customs bisa lancar bila dokumen impor yang diperlukan telah diurus oleh importir jauh-jauh hari sebelum barang tiba di pelabuhan. Izin ini bukan dikeluarkan oleh Pelindo III sebagai operator, melainkan Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Perdagangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, proses bongkar muat di Perak juga sedikit terhambat karena petugas dari unsur Karantina Kementerian Pertanian hingga Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan tidak standby 24 jam, padahal aktivitas pelabuhan berlangsung non stop 24 jam setiap harinya tanpa hari libur. Pelindo III tidak bisa memindahkan barang tanpa adanya persetujuan dari pihak Kementerian/Lembaga yang berwenang untuk barang-barang impor seperti Karantina atau Bea Cukai.
"Mereka (layanan petugas Bea Cukai dan Karantina) nggak 24 jam. Kalau layanan terminal peti kemas (Pelindo III) 24 jam," tambahnya.
Sedangkan layanan pada customs clearance relatif lancar yakni sekitar atau di bawah 1 hari sedangkan angka relatif dwell time relatif tinggi setelah barang menjalani customs clearance atau memasuki tahap post customs. Di sini, pemilik barang atau importir kadang masih menginapkan barangnya di terminal pelabuhan. Kontribusi post customs terhadap dwell time mencapai di atas 1 hari. Importir sendiri memiliki alasan beragam saat menginapkan peti kemas yang telah memperoleh clearance dari Bea Cukai.
"Kebutuhan bahan Baku untuk produk ekspor masih tersedia banyak di gudang mereka, mengingat kondisi ekspor belum maksimal. Kedua, mereka sebagian trader menunggu harga barang membaik sehingga mereka menimbun barangnya di pelabuhan, disamping mereka tidak punya kecukupan storage," paparnya.
Namun, Edi tak menampik bila denda atau penerapan tarif progresif tidak sebesar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara sehingga tidak bisa memaksa pemilik barang cepat-cepat mengeluarkan peti kemasnya. Tarif progresif sendiri diterapkan setelah barang melalui proses customs clearance. Regulasi penetapan tarif progresif berada di tangan regulator, Kementerian Perhubungan.
"Ada tapi tarif progresif nggak setinggi di Jakarta," sebutnya.
Lanjut Edi, Pelabuhan Tanjung Perak sendiri memiliki kapasitas 3 juta TEUs per tahun. Dari lalu lintas peti kemas, 40% melayani aktivitas ekspor impor sedangkan 60% peredaran logistik nasional khususnya ke Indonesia Timur. (feb/feb)