"Impor daging sapi itu merupakan kebijakan jangka pendek dan tidak menyelesaikan masalah mengenai mengenai minimnya pasokan daging sapi nasional," ungkap pakar peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ali Agus, kepada wartawan di kampus UGM, Jumat (10/6/20160.
Menurut dia kebijakan tersebut merupakan kebijakan jangka pendek, tapi belum menyelesaikan persoalan, yakni minimnya pasokan daging sapi nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dekan Fakultas Peternakan UGM itu, selama ini pemerintah hanya mengandalkan kebijakan impor daging dan impor sapi bakalan hidup untuk menekan harga daging sapi di pasaran. Namun tidak melakukan kebijakan untuk menambah populasi sapi betina produktif.
"Harga daging sapi akan terus tinggi bila hanya dengan kebijakan impor daging sapi," katanya.
Menurutnya jumlah populasi sapi nasional diperkirakan mencapai 12 juta ekor. Jumlah tersebut sudah termasuk sapi produktif yang mencapai 5-6 juta ekor. Sementara untuk sapi siap potong hanya mencapai 2-3 juta per tahun. Saat ini sekitar 40% kebutuhan daging harus impor berupa daging beku atau sapi bakalan hidup.
Dia mengatakan pemerintah perlu melakukan impor bibit sapi hidup untuk menambah jumlah populasi sapi. Minimal 200 ribu ekor sapi bibit lalu disebar ke berbagai daerah agar populasi sapi bertambah.
"Meski ini cara yang tidak mudah, tapi perlu dilakukan," katanya.
Untuk mengatasi masalah tersebut lanjut dia, pemerintah bisa melibatkan swasta untuk mengimpor 200 ribu ekor bibit sapi. Pemerintah bisa menggandeng swasta yang selama ini mendapat izin melakukan impor sapi bakalan.
Peraturan yang ada selama ini, perusahaan impor sapi bakalan diharuskan membawa sapi betina produktif. Pihak swasta melakukan impor bakalan dan membawa sapi betina produktif minimal 10%.
"Pemerintah sebenarnya bisa memainkan perannya. Namun aturan ini tidak pernah dijalankan," katanya.
Diakui Agus, selama ini tidak semua swasta mau menerapkan aturan ini karena memelihara sapi betina dari sisi bisnis tidak langsung untung karena besarnya biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan. Swasta bisa mensiasati dengan menggandeng petani peternak untuk bekerja sama hingga nantinya sapi tersebut dibeli kembali oleh perusahaan dalam bentuk pedet.
"Di Lampung, ada perusahaan yang melakukan seperti itu," pungkas Ali Agus. (bgs/ang)











































