Bagi Dirjen Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, ini bukan merupakan persoalan sederhana. Bila benar Brexit terjadi, maka bisa memicu krisis pada negara lain. Tak terkecuali Indonesia.
Masalahnya, terletak pada pasar keuangan. Investor menilai ini sebuah kekacauan. Sehingga investor mencari pegangan yang tepat, yaitu dolar Amerika Serikat (AS). Dolar AS perkasa dan mata uang banyak negara beserta rupiah bisa melemah cukup dalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti yang disampaikan banyak analis, bahwa kondisi tersebut hanya terjadi sesaat. Akan tetapi, bila selama masa transisi tersebut, yaitu antara pasar keuangan anjlok dan kembali memantul (rebound) tidak cepat, maka bisa memicu krisis moneter.
"Pasti (efeknya) sesaat. Tapi menunggu di transisinya itu kuat nggak. Kalau nggak bisa trigger krisis moneter juga di mana-mana," tegas Robert di Gedung Djuanda, Kementerian Keuangan, Kamis (23/6/2016).
"Karena kondisinya supply valuta asing berkurang, aktivitas pasar saham berkurang, harga saham anjlok. SBN berkurang, harga SBN anjlok, imbal hasilnya naik," jelasnya.
Meski demikian, Robert masih optimistis Brexit tidak terealisasi. Ini juga seiring dengan harapan banyak pihak, khususnya investor yang menginginkan Inggris tetap berada di Uni Eropa.
"Kita doakan tidak terjadi," imbuhnya.
Mau tau lebih jauh soal Brexit? Simak di sini. (mkl/drk)