Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi, menjelaskan untung yang diambil pedagang daging di pasar atas jeroan tidaklah besar. Hal ini lantaran jeroan sudah mahal sejak kulakan dari rumah potong hewan (RPH).
"Pedagang beli jeroan secara borongan dengan karkas (daging dan tulang) sapi. Untung nggak besar," jelas Asnawi kepada detikFinance, Kamis (14/7/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari satu sapi hidup seberat 500 kg akan menghasilkan karkas 250 kg, ditambah produk sampingan berupa jeroan yang dijual RPH ke pedagang Rp 21.750.000 (250 x Rp 87.000).
Produk sampingan tersebut yakni babat 14 kg, usus pendek 5 kg, usus panjang 3 kg, paru 3 kg, jantung 1,5 kg, hati 5 kg, kepala 25 kg, buntut 2 kg, dan sisanya berupa limpa dan ginjal.
"Karkas dan jeroan seberat 250 kg dibeli seharga Rp 21 juta lebih, modal beli jeroannya itu sebesar Rp 1.750.000, hitungannya dari 250 kg karkas dikali Rp 7.000, karena beli borongan dengan karkas," jelas Asnawi.
Dengan asumsi harga jual babat harga Rp 30.000/kg, usus pendek dan panjang 30.000/kg, paru Rp 80.000/kg, jantung Rp 80.000/kg, hati Rp 80.000/kg, kepala Rp 250.000/kepala, buntut Rp Rp 80.000/kg, maka penjualan yang didapat dari jeroan sebesar Rp 1.830.000.
"Artinya dengan modal beli jeroan Rp 1.750.000, dapat untung Rp 80.000, atau sekitar Rp 100.000 kurang atau lebih tergantung harga jeroannya," terang Asnawi.
Dia berujar, kebiasaan pedagang membeli jeroan secara borongan dengan karkas sapi inilah yang membuat pendapatan dari jeroan dianggap sebagai kompensasi dari menjual daging.
"Artinya kalau harga jeroan diturunkan oleh pedagang, itu dibebankan ke naikkan harga daging sapinya. Sementara kalau ongkos transportasi itu dikompensasi dari kulit dan kaki. Kebiasaannya seperti itu, meski juga ada yang jual terpisah jeroan dan karkas," tutup Asnawi. (wdl/wdl)