Namun demikian, menurut Sekjen Perhimpunan Peternakan Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, target tersebut tak akan terealisasi tanpa pembenahan data populasi sapi yang akurat.
Menurutnya, rezim sebelumnya pun punya target serupa dengan periode yang hampir sama, namun hilirnya tetap saja kegagalan dengan sebab klasik yang terulang sejak dulu, yaitu data populasi sapi yang tidak akurat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mencontohkan, pada tahun 2011, Kementerian Pertanian (Kementan) memangkas kuota sapi impor dari semula 35% dari kebutuhan domestik, dipotong menjadi hanya 15%. Pemotongan ini didasarkan atas asumsi survei populasi BPS yang menyatakan ada 14,8 juta ekor sapi di dalam negeri.
"Dipikirnya 14,8 juta dianggap sudah swasembada. Hal ini malah membuat populasi sapi lokal terus menyusut. Pemerintah nggak berpikir kalau populasi sapi itu punya rakyat yang mereka jual kalau hanya butuh duit, dia jual suka-suka dia, nggak sesederhana feedloter jual ke RPH. Artinya dari 14,8 juta itu, hanya 41% yang siap potong," terang Rochadi.
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran ini menuturkan, populasi sapi lokal pada tahun selanjutnya pun terus menyusut akibat kebijakan yang salah karena data yang tak akurat tersebut.
Dari populasi sapi sebanyak 14,8 juta di tahun 2011, tinggal 12,3 juta di tahun 2013. Ini terjadi akibat banyak sapi betina produktif yang seharusnya dilarang dipotong, ikut disembelih di RPH selama masa pengurangan kuota impor.
"Jumlah 14,8 juta dianggap swasembada, maka Kementan berani pangkas impor, padahal nggak sesederhana itu data populasi di lapangan. Menterinya waktu itu Suswono juga akhirnya mengakui kalau masih jauh dari swasembada," tandas Rochadi.
Seolah tak belajar dari pengalaman, lanjutnya, kebijakan keliru pemotongan kuota impor kembali terjadi di tahun 2015. Dengan alasan data populasi sapi lokal mencukupi, Kementan memangkas kuota impor pada kuartal III-2015 hanya menyisakan 50.000 ekor, padahal kuota impor pada kuartal sebelumnya mencapai 250.000 ekor.
"Di 2015 terulang lagi, impor bakalan dipangkas drastis. Kerena dikasihnya sedikit, otomatis feedloter jualnya juga sedikit. Ketika shorted, harga naik. Kebijakan nggak konsisten karena datanya sejak dulu salah," ucap Rochadi. (drk/drk)