Ini Alasan Sayur di Pasar Jauh Lebih Mahal dari Harga Petani

Ini Alasan Sayur di Pasar Jauh Lebih Mahal dari Harga Petani

Dana Aditiasari - detikFinance
Kamis, 04 Agu 2016 08:10 WIB
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Panjangnya rantai distribusi sering kali dianggap sebagai biang keladi yang menyebabkan harga komoditi pangan seperti sayuran di tingkat petani berbeda jauh dengan harga di pasar.

Menko Perekonomian Daarmin Nasution justru punya pendapat berbeda. Menurutnya panjangnya rantai distribusi bukan faktor utama yang menyebabkan ketimpangan harga yang cukup jauh di tingkat petani dengan tingkat pedagang di pasar.

Buktinya, dari hasil uji coba pemangkasan rantai distribusi bawang dari petani hingga sampai di pasar, hanya membuat harga bawang yang dijual di pasar turun sekitar Rp 3.500.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Padahal, kalau kita lihat harga bawang di tingkat petani setelah sampai ke pedagang pasar di Jakarta perbedaannya bisa sampai 100% lebih tinggi. Artinya, kontribusi rantai distribusi terhadap harga tidak terlalu besar," kata Darmin di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (3/8/2016) malam.

Lantas faktor apa yang membuat ketimpangan harga di tingkat petani dengan pasar begitu besar?

Darmin menjawab, faktor utamanya justru ada pada sistem pengiriman barang yang tidak baik dari mulai tempat produksi hingga ke pasar tempat para pedagang menjual kembali ke masyarakat.

Masalah pengiriman pertama yang dijumpai adalah tidak adanya penanganan yang baik terhadap komoditas pangan seperti sayuran yang akan dikirim ke pasar.

"Dari petani, sayur diangkut pakai mobil bak. Tidak ada penanganan khusus. Sudah begitu di atas sayuran, ada orang tidur di atasnya. Sampai ke pasar, 20% sayuran yang diangkut rusak," papar Darmin.

Kondisi tersebut menimbulkan kenaikan harga pada barang yang bisa dijual. Karena pedagang akan menghitung nilai barang yang rusak saat menentukan harga barang yang bisa dijual.

Masalah pengiriman kedua, adalah kepastian barang yang bisa diangkut setelah mobil bak selesai mengantar sayur ke pasar.

Mobil bak hanya ada kepastian barang yang diangkut dari petani ke pasar. "Tapi setelah dari pasar, pulangnya dia cari barang (yang akan diangkut saat pulang) belum tentu dapat. Makanya dia satu kali jalan dihitung dua kali jalan biayanya. Dia menghitung risiko kalau pulangnya tidak ada yang diangkut lagi," sambung Darmin.

Barang yang rusak saat diangkut, hingga biaya angkut yang mahal tersebut menurut Darmin justru membeli kontribusi lebih besar terhadap ketimpangan harga jual sayuran antara yang ada di pasar dengan yang ada di petani.

"Itu (permasalahan), kalau dikumpul-kumpulkan semua sudah menyebabkan kenaikan harga 60%. Itu sebenarnya masalah kita. Bukan sekedar rantai distribusi yang panjang," tandas dia. (dna/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads