Ekonom Utama Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop mengatakan pertumbuhan sektor manufaktur rill Indonesia menurun dari rata-rata 11% per tahun pada periode 1990-1996, menjadi 4,8% per tahun pada periode 2001 hingga tahun 2014. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti besarnya biaya logistik, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, hingga sulitnya perizinan.
"Setelah menjadi salah satu pemain besar di bidang manufaktur di dunia, Indonesia di pasar dunia kini tertahan di kisaran 0,6% selama 15 tahun terakhir. Di Malaysia ekspor juga tidak berkembang tetapi pangsa (market share) nya dua kali lebih banyak dari Indonesia," ujar Ndiame Diop di Kantor Bank Dunia, Bursa Efek Indonesia, SCBD, Jakarta Selatan, Kamis (18/8/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data World Bank, pada tahun 1990, Indonesia telah melakukan ekspor ke berbagai dunia, di saat yang sama Vietnam belum melakukan ekspor di bidang manufaktur. Di tahun 2000, Indonesia melakukan ekspor di sektor manufaktur sebanyak 0,6% sedangkan Vietnam baru berkisar 0,2%.
Namun, pada tahun 2014 berubah, Vietnam mengungguli Indonesia yang telah mengekspor sebesar 0,9%, sementara Indonesia sekitar 0,6%.
"Yang lebih mengejutkan Indonesia kini berada di belakang Vietnam di mana pada 1990 bahkan nama nya belum terdengar di pasar manufaktur dunia di tahun 1990," ujar Diop.
Ekspor Indonesia sangat didasari oleh produk berteknologi rendah. Namun, ada peningkatan ekspor pada sektor teknologi menengah seperti kelapa sawit, ban karet, mobil yang dibuat seluruhnya, suku cadang otomotif, dan serat kabel terisolasi.
Namun, Indonesia tetap kalah dalam ekspor mobil. Pada tahun 2002, ekspor mobil Indonesia meningkat dari 1.258 unit menjadi 207.691 pada 2015, tapi dibandingkan dengan Thailand masih tertinggal jauh. Hal ini terjadi karena Thailand mengekspor mobil enam kali lebih banyak dibandingkan Indonesia dan merupakan pusat ekspor mobil regional.
Diop menyebut, Thailand lebih banyak mengekspor daripada Indonesia karena produktifitas tenaga kerja lebih unggul.
"Produktifitas tenaga kerja di Thailand bagus dan banyak aturan yang membuat pemerintahnya stabil sehingga hasilnya berimbas pada produktifitas tenaga kerja di sektor manufaktur," kata Diop.
Diop mengatakan, rendahnya kinerja manufaktur terlihat pada ekspor karena Indonesia lebih sering mengekspor komoditas seperti batubara, kepala sawit, karet, dan minyak mentah di mana, masing-masing meningkat tiga kali lipat dalam dolar AS rill. Akibatnya, sektor komoditas melampaui manufaktur sebagai sektor terbesar Indonesia pada tahun 2006.
"Saat ini, tujuh dari sepuluh produk ekspor teratas Indonesia merupakan produk komoditas dan sekitar 60% dari ekspor teratas di Indonesia merupakan komoditas atau terkait dengan komoditas dalam bentuk mentah yang menunjukkan kaitan yang lemah antara sektor manufaktur dan komoditas," tambah Diop. (feb/feb)