"Para pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa kebijakan pengampunan pajak bertentangan dengan prinsip pajak yang bersifat memaksa, prinsip keadilan, prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum, prinsip penegakan hukum, serta prinsip keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945," kata Sri Mulyani di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (20/9/2016).
Terkait dengan sifat memaksa pajak, yang merujuk pada pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur bahwa pajak sebagaimana juga pungutan negara lainnya yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Menurut Sri Mulyani, kata memaksa tidak dapat dimaknai bahwa pemerintah tidak dapat merumuskan kebijakan pengampunan pajak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sifat memaksa dalam pajak haruslah dimaknai bahwa setiap wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar pajak dan negara memiliki kewenangan untuk memberi sanksi apabila wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut," ujar Sri Mulyani.
Mantan Direktur Bank Dunia tersebut menambahkan, sistem perpajakan sendiri menganut sistem self assessment di mana pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya.
"Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir para pemohon dalam memaknai kata memaksa di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah pola pikir yang kurang tepat," tegasnya.
Terkait dengan dalil keadilan yang disampaikan penggugat, menurut Sri Mulyani juga tidak tepat. Sebab kebijakan ini justru akan menimbulkan keadilan seluas-luasnya karena kebijakan pengampunan pajak akan menambah basis jumlah subjek dan objek pajak baru serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak setelah kebijakan pengampunan pajak yang pada akhirnya beban pajak untuk pembangunan menjadi lebih merata dan adil.
Bila melihat total jumlah pekerja yaitu sebesar 114,819 juta jiwa atau rakyat Indonesia yang bekerja statusnya dibandingkan dengan jumlah orang pribadi yang telah terdaftar sebagai wajib pajak yaitu sebesar 27,571 juta jiwa pada tahun 2015, maka terlihat hanya 24, 01% dari potensi jumlah pekerja yang telah mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.
"Artinya terdapat potensi sekitar 87 juta wajib pajak yang belum terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan. Bahkan kalau dikurangi mereka yang pendapatannya tidak kena pajak sekalipun, angkanya masih sangat signifikan," ujarnya.
Sri Mulyani menilai para penggugat hanya melihat dari satu sisi, di mana wajib pajak yang patuh tidak diperlakukan sama dengan wajib pajak yang tidak patuh yang dapat menebus kewajiban pajaknya dengan tarif yang rendah, sehingga dapat merugikan negara.
"Akan tetapi para pemohon tidak melihat manfaat lahirnya Undang-Undang Pengampunan Pajak yang dapat menumbuhkan kepatuhan dan manfaatnya dapat menggerakkan perekonomian secara lebih cepat. Prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak," kata Sri Mulyani. (mkl/hns)