Namun kebijakan Susi ini justru disalhgunakan oleh pihak terkait yang bertanggung jawab dalam proses pengukuran ulang. Pemilik kapal yang ingin melakukan pengukuran ulang, dimintai biaya oleh petugas yang melakukan pengukuran. Padahal proses ini sejatinya gratis tanpa biaya.
"Saya jelaskan sekali lagi, ukur ulang tidak ada biayanya, semua digratiskan. Yang harus bayar hanya pengurusan SIPI untuk PHP saja. Pengukuran ulang dan lainnya tidak perlu bayar," ujar Susi dengan geramnya, saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu (5/10/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menindaklanjuti praktik-praktik seperti ini, Susi juga menyampaikan, Presiden akan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) agar kapal dengan ukuran di bawah 10 GT tidak lagi diperlukan izin dalam persyaratan melakukan Surat Laik Operasi (SLO) untuk berlayar dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) untuk penangkapan.
Sebelumnya Menteri KKP 7 november 2014 sudah mengirimkan SE kepada Gubernur, Bupati, untuk membebaskan izin-izin persyaratan untuk menangkap dan berlayar (SLO, SIPI) tidak diperlukan lagi untuk kapal di bawah 10 GT.
"Tapi karena banyak daerah yang belum mendengar, jadi akan dibuat Perpresnya. Presiden akan siapkan perpres untuk tidak lagi diharuskan membuat izin kapal di bawah 10 GT," tuturnya.
Susi memang memberikan fasilitas pengampunan bagi pemilik-pemilik kapal yang memalsukan berat kapal (markdown).
Prekatik markdown dilakukan pemilik kapal agar membayar pajak Pungutan Hasil Perikanan (PHP) lebih rendah, serta mendapatkan BBM bersubsidi yang dimanipulasi di bawah bobot 30 gross ton (GT).
Dengan data bobot kapal di bawah 30 GT, pemilik kapal juga bisa memperoleh keuntungan lain seperti pasokan BBM bersubsidi. Manipulasi dilakukan pemilik kapal karena Susi tidak memperkenankan kapal dengan bobot di atas 30 GT mengkonsumsi BBM subsidi.
Pihak KKP mensinyalir ada sekitar 5.000 kapal yang melakukan praktik markdown. Praktik lainnya, yakni menggunakan 1 surat izin tangkap untuk dipakai untuk beberapa kapal. (dna/dna)