Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, mengungkapkan peternak sapi perah lokal harus menjual susu sapi di harga yang cukup rendah pada Industri Pengolahan Susu (IPS).
"Hidup enggan mati tak mau, itu kondisinya riil. Padahal mereka menyumbang 85% susu dalam negeri. Karena posisi tawar mereka sangat rendah, buyer yang menentukan harga, karena nggak ada pilihan. Pembelinya cuma satu," jelas Rochadi di acara Diskusi 'Industri Peternakan Sapi Perah Indonesia' di Hotel Atlet Century, Jakarta, Selasa (8/11/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harga per Oktober 2016 Rp 4.500/liter, itu harga tertinggi loh yang jaraknya dekat dengan IPS. Ada daerah yang lebih jauh dari IPS susunya hanya dibeli Rp 3.600/liter," ucap Rochadi.
Dia kemudian membandingkan harga susu sapi di Vietnam yang diberlakukan pabrik pengolahan sebesar Rp 8.721/liter, dan China Rp 7.330/liter. Masalah harga inilah yang membuat produksi susu lokal terus tergerus, di sisi lain impor susu powder oleh IPS setiap tahunnya mengalami kenaikan.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), Agus Warsito, menuturkan meski sebenarnya dirugikan, peternak lokal jarang memprotes kebijakan harga yang ditetapkan IPS lantaran sapi perah lebih banyak dijadikan pendapatan sampingan.
"Namanya skala usaha kecil atau rumah tangga. Semua aktivitas dilakukan sendiri oleh orang di dalam rumah. Cari rumput sendiri, bersihkan kandang sendiri, perah sendiri, jadi nggak memperhitungkan beban tenaga kerja dan sebagainya. Kalau ditanya ke peternak untung apa tidak (jual susu), ya mereka bilang untung. Padahal kalau dihitung detail pakan dan tenaga kerja pasti rugi," ujar Agus.
Dirinya menghitung, harga susu sapi yang ideal bagi peternak yakni sebesar Rp 7.000/liter, meski harga tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan harga susu peternak negara lainnya. (hns/hns)