Walaupun telah ada tol laut, tetapi untuk mendistribusikan ke daerah terpencil harus menggunakan pesawat sehingga membebankan biaya logistik yang mahal.
"Tidak seperti itu, pedagang yang memang bayar mahal, sampai di lokasi jadi mahal, bukan tengkulak. Harga harusnya diawasi pemerintah," kata Bupati Mamberamo Raya, Papua, Dorunus Dasinapa, di Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Jakarta, Selasa (10/1/2017).
Sementara itu, Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, Bambang Purwoko, yang mewakili Bupati Kabupaten Puncak mengatakan dengan adanya penurunan BBM 1 harga di Papua tidak terlalu berdampak signifikan. Hal itu karena ada biaya operasional seperti biaya logistik yang disebabkan mahalnya biaya angkut pesawat, sementara muatan yang dibawa hanya sedikit yaitu 950 kilogram (kg).
Selain itu, ada biaya distribusi dari bandara menuju kios pedagang. Biaya angkut pun dihitung Rp 22.000-Rp 30.000 per kg.
"Ini yang menyebabkan harga mahal, karena biaya angkut barang bisa Rp 22.000-Rp 30.000 per kg. Lalu biaya angkut dari bandara ke bandara, belum dari bawah distributor ke bandara, bandara sampai ke kios itu ongkos angkutnya lebih mahal lagi karena pakai tenaga angkut lokal," imbuh Bambang, yang juga mantan Ketua Tim Percepatan Pembangunan Puncak.
Selain itu, dia menyebut soal operator kargo yang diduga menetapkan harga tinggi bagi biaya carter. Dia meminta pemerintah untuk mengatur dan mengawasi secara ketat.
"Ini menjadi salah satu penyebab mahalnya harga, soal petugas yang menyuplai barang, mengatur kargo mereka bisa mainkan seenaknya. Kami itu pengguna misalnya mencarter bisa 5 kali dalam setahun. Dalam kondisi mendesak, 30 menit terbang harus bayar Rp 35 juta-Rp 45 juta. Permainannya itu sangat besar ada potensi pengerukan yang luar biasa di tengah carut marutnya manajemen penerbangan di Papua, dalam situasi membanjirnya dana otsus," imbuhnya. (hns/hns)