Namun demikian, jika penyebabnya terjadi karena tingginya frekuensi hujan, kenapa hanya cabai rawit saja yang terdampak. Sementara cabai jenis lain seperti cabai besar dan keriting tidak tidak terpengaruh?
Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Jawa Timur, Sukoco, menerangkan teknik budidaya cabai berbeda untuk masing-masing varietas. Budidaya cabai besar dan keriting berbeda dengan cabai rawit membuat keduanya bisa tahan terhadap tingginya curah hujan. Kondisi ini membuat harga dua jenis cabai tersebut tetap saja normal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mulsa sendiri merupakan plastik berbentuk terpal yang dipakai petani untuk menutup permukaan tanah tempat penanaman cabai. Plastik tersebut dibuat lubang kecil pada jarak tertentu untuk ruang tegakan tanaman, tujuannya sebagai intensifikasi budidaya cabai, khususnya dalam pemupukan dan pengairan.
"Kalau cabai rawit budidaya masih tradisional, sementara cabai besar dan keriting pakai mulsa, saat hujan enggak mudah terendam air," ujarnya.
Dia melanjutkan, penggunaan benih hibrida pada cabai besar dan keriting juga berkontribusi besar keduanya bisa tahan terhadap tingginya curah hujan. Sementara benih cabai rawit yang dipakai petani umumnya benih lokal yang belum dikembangkan.
"Cabai besar dan keriting pakai hibrida, kalau rawit lokal biasa. Hibrida ini lebih tahan penyakit. Kalau rawit ini terendam air sudah layu batangnya, kemudian kalau dia sudah berbuah, kena hujan banyak biasanya gampang bosok (busuk)," kata Sukoco.
Menurutnya, di sentra cabai Jawa Timur seperti Blitar, Banyuwangi, Kediri, dan Malang, banyak petani cabai rawit mengalami kegagalan produksi hingga 40%, bahkan ada beberapa lahan yang gagal panen total saat hujan turun deras seperti beberapa minggu terakhir ini.
"Tidak salah kalau sebabnya karena hujan. Petani kalau rata-rata rusak cabainya 40%. Bahkan ada yang enggak panen. Ini beda dengan cabai rawit besar dan keriting yang sudah pakai hibrida dan teknik mulsa," pungkas Sukoco. (idr/dna)