Kedatangan Raja Salman cukup menyita perhatian publik di Indonesia, khususnya karena berbagai barang pribadi yang dibawanya, termasuk eskalator khusus untuk turun dari pesawat.
Menurut Forbes, Raja Salman memiliki harta yang cukup besar, yaitu US$ 17 miliar atau sekitar Rp 226 triliun (kurs Rp 13.300/dolar AS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harta Abdullah sebesar US$ 18 miliar kebanyakan diwariskan ke Raja Salman. Namun bagaimana kondisi ekonomi Arab Saudi saat ini?
Pasca anjloknya harga minyak dunia, dari tingkat tertinggi di pertengahan 2014 yaitu di atas US$ 100/barel, menjadi saat ini di kisaran US$ 50/barel, ekonomi Arab Saudi cukup terhantam.
detikFinance pada pertengahan tahun lalu pernah menulis, pemerintah Arab Saudi terimbas penurunan harga minyak dunia. Karena 70% pendapatan negara tersebut berasal dari penjualan minyak.
Ada beberapa cara yang dilakukan oleh Arab Saudi, salah satunya adalah menjual sebagian saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) miliknya demi mendapatkan dana segar. Arab Saudi memang berencana untuk menjual saham perusahaan minyak besarnya, yaitu Saudi Aramco.
Program reformasi akan dijalankan untuk jangka panjang, targetnya sampai 2030.
Baca juga: Tak Mau Lagi Bergantung Pada Minyak, Ini Langkah Arab Saudi
Beberapa poin penting dalam program reformasi tersebut antara lain:
- Menjual sekitar 5% saham Saudi Aramco, BUMN minyak Arab Saudi yang nilai perusahaannya ditaksir US$ 2,5 triliun atau sekitar Rp 32.500 triliun.
- Uang hasil penjualan saham Aramco sebagian digunakan untuk dana investasi ke luar negeri sebanyak US$ 2 triliun.
- Sistem visa baru yang memungkinkan orang asing muslim bekerja jangka panjang di Arab Saudi
- Diversifikasi ekonomi, mulai dari investasi di tambang mineral dan memproduksi peralatan militer
- Mengizinkan wanita untuk bekerja
Baca juga: Tak Mau Lagi Bergantung Pada Minyak, Arab Saudi Reshuflle Kabinet Besar-besaran
Baca juga: Menteri Keuangan Arab Saudi Dicopot
Kondisi harga minyak yang jatuh, membuat anggaran pemerintah Arab Saudi menipis. Penghematan dilakukan di mana-mana dan dampaknya cukup besar.
Awal Mei tahun lalu, perusahaan konstruksi, Saudi Binladin Group, harus menghadapi kenyataan ini, dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 50.000 pegawainya.
Baca juga: Pemerintah Arab Saudi Berhemat, Perusahaan Konstruksi Ini PHK 50.000 Karyawan (wdl/ang)











































