"Yang berbahaya antara 4%-8%. Yang lainnya tidak memenuhi syarat, misalnya karena mutu saja, misalnya PH," ujar Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM, Suratmono, di Hotel Park Lane, Jakarta, Senin (3/4/2017).
Walaupun tidak menyebutkan jumlah penurunan rata-rata setiap tahunnya, namun kata Suratmono, penggunaan bahan berbahaya untuk makanan pada tahun 2010 lalu sempat mencapai 23%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, saat ini pihaknya telah melakukan berbagai upaya pengawasan dengan melakukan berbagai sosialisasi hingga sidak di beberapa tempat untuk terus mengurangi jumlah penggunaan bahan berbahaya pada makanan. Terlebih, lanjutnya, dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan.
"Kita terus dan rutin melakukan pengawasan dan menurunkan jumlah angka tersebut, walau pun kita memang belum zero defect. Karena kita hanya mengawasi produk pangan. Tapi kalau dari hulunya sudah tercemar, misalnya ikan yang masuk ke Indonesia. Itu bukan ranah kita," terang Suratmono.
Oleh sebab itu, ia mengatakan perlu ada pengawasan pangan terpadu, yang dilakukan oleh berbagai kementerian atau lembaga yang bersangkutan untuk menangani kondisi tersebut.
"Karena kalau regulasi BPOM hanya yang terkait pangan olahan saja, tapi kalau pangan segar, kan misalnya ikan, sayur-mayur, itu Kementerian Pertanian yang melakukan pengawasan. Itu salah satu contohnya," tutur Suratmono. (hns/hns)











































