Ekspor Sawit ke Eropa Dihambat, Apa Dampaknya Bagi RI?

Ekspor Sawit ke Eropa Dihambat, Apa Dampaknya Bagi RI?

Muhammad Idris - detikFinance
Selasa, 18 Apr 2017 19:28 WIB
Foto: Febri Angga Palguna
Jakarta - Produk sawit Indonesia tengah dipersoalkan Eropa. Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi yang menyatakan sawit Indonesia terkait erat dengan isu pelanggaran HAM, korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, mengungkapkan resolusi tersebut memang belum berdampak pada penurunan ekspor sawit untuk jangka pendek. Namun dalam jangka menengah dan panjang, resolusi tersebut akan membawa konsekuensi yang cukup merugikan.

Baca juga: Eropa Jegal Minyak Sawit RI, JK: Mereka Takut Tersaingi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apakah ada dampaknya ke ekspor? Jangka pendek belum ada. Namun saya sampaikan adanya resolusi ini membuat citra industri hilir sawit semakin buruk di mata internasional, terutama di Amerika dan Eropa yang selama ini memang sering memberi stigma negatif," kata Joko di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/4/2017).

Stigma miring atas sawit yang semakin menguat itu, sambung dia, akan membuat ekspor dan harga minyak sawit tertekan dalam jangka menengah dan panjang.

Efek domino lainnya, yakni resolusi tersebut bisa membuat negara-negara lain melakukan hal serupa pada komoditas andalan ekspor Indonesia tersebut.

Dampak buruk lainnya, tentunya bisa memperburuk posisi Indonesia dalam perundingan perdagangan bebas Indonesia dan Uni Eropa dalam CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement).

Baca juga: Ekspor Sawit RI ke Eropa Diganjal, Mendag: Kami Tidak Takut

"Ini akan jadi preseden bagi negara lain mengambil langkah serupa. Asosiasi Biodiesel di Amerika Serikat juga menuduh Indonesia melakukan dumping. Selain itu, ini juga akan mengganggu proses perundingan Indonesia dengan Uni Eropa dalam CEPA," tandas Joko.

Pengaruh ke Hutan

Menurut Joko, tanpa sawit sebenarnya akan lebih banyak tegakan hutan yang hilang. Ini karena produksi minyak sawit atau CPO, salah satunya untuk bahan baku biodiesel, jauh lebih efisien dalam penggunaan lahan dibandingkan minyak nabati lain.

"Kalau pertimbangan (keluar resolusi) karena lingkungan, justru biodiesel dari sawitlah yang lebih efisien dalam penggunaan lahan. Dengan penghapusan biodiesel sawit, justru dampaknya lebih besar karena butuh lahan lebih luas," kata Joko.

Dia menuturkan, minyak nabati yang berasal dari rapeseed, minyak kedelai, dan biji bunga matahari justru membutuhkan lahan lebih luas untuk memproduksinya. Dampaknya, alih fungsi hutan bisa lebih masif jika sawit kemudian digantikan minyak nabati lain tersebut.

"Kalau asumsi angka kebutuhan produksi minyak nabati di 2025 itu 5 juta ton per tahun, kalau pakai rapeseed saja maka perlu lahan baru 51,6 juta hektar," jelas Joko.

Sebagai perbandingan, produktivitas minyak dari sawit tahunan per hektarnya sebesar 4,2 ton. Jauh mengungguli produktivitas minyak nabati dari rapeseed yang hanya 0,6 ton per hektar, minyak biji bunga matahari 0,5 ton per hektar, dan minyak kedelai 0,4 ton per hektar.

"Impor minyak sawit Eropa itu 4,2 juta ton volumenya. Walaupun ini gabungan negara-negara Eropa, ini masih kalah dengan impor minyak sawit India," pungkas Joko. (idr/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads