Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjadi bagian dalam perjalanan panjang itu. Ia pun kemudian bercerita soal kebijakan-kebijakan yang berperan untuk menghadirkan konglomerat dari dalam negeri.
"Pertama kebijakan tahun 1973, di situ muncul pengusaha-pengusaha pribumi, yang masuk ke devisa, termasuk bapak saya. Dan banyak pengusaha yang senior banyak muncul," ungkap JK usai menutup Kongres Ekonomi Umat (KEU) 2017 di Hotel Sahid, Jakarta, Senin (24/4/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah peristiwa Malari, timbul lah Keppres (Keputusan Presiden) nomor 18 dan 15, yang mendahulukan pengusaha-pengusaha daerah dan modal yang mudah," terangnya.
Ketiga, kata JK adalah kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Arah dari kebijakan ini adalah untuk menghidupkan pengusaha-pengusaha kecil alias UMKM agar bisa ikut mendapatkan kue ekonomi di Indonesia.
"Kemudian baru 10 tahun yang lalu kita bikin KUR untuk pengusaha," terangnya.
Sayangnya, pemerintah sebelumnya pernah membuat kesalahan dengan meningkatkan jumlah bunga KUR kepada masyarakat hingga mencapai 23%. Dengan penetapan bunga yang tinggi tersebut, tentu dinilai mematikan para pengusaha kecil.
"Pada saat kabinet sebelum ini. Kabinet pada saat zaman saya pertama buat KUR bunganya 11%. Tiba-tiba pada kabinet kedua SBY naikkan 23%. Jadi pengusaha besar makin kaya makin besar, pengusaha kecil makin kecil. Itu adalah suatu kesalahan yang menimbulkan kezaliman yang terjadi," kata dia.
Oleh sebab itu, pemerintah menurunkan tingkat bunga KUR menjadi 9%. Sekarang terus diupayakan agar bisa menjadi sebesar 7%, sehingga turut mendorong pengembangan bagi pelaku UMKM.
"Sekarang kita turunkan jadi 9%, dan kita akan coba turunkan (menjadi) 7%. Mungkin banyak bank-bank kecil yang akan mati, tidak apa-apa. Mereka tentu banyak yang tidak bisa kerja. Tapi tentu lebih baik mereka tidak bisa kerja dibandingkan rakyat tidak bisa kerja. Rakyat harus kerja, harus dapat layanan lebih baik," kata dia.
Bila harus diklasifikasi, JK mengakui pengusaha pribumi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pengusaha etnis Tionghoa. Hal itu didasari pada masa lalu, dimana kaum pribumi lebih banyak memilih untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), atau bahkan menjadi tentara dibanding pengusaha.
"Jadi kenapa kita kekurangan pengusaha dibandingkan Tionghoa? Sederhana sekali karena pengusaha Tionghoa kalau (punya) anak lima, lima-limanya pengusaha. Karena dulu tidak bisa jadi tentara, pegawai pemerintah. Jadi mereka membuka toko, jadi pengusaha," kata dia.
"Sedangkan kita ini (pribumi), (punya) anak lima, satu jadi pengusaha, sisanya jadi PNS, tentara dan sebagainya, sehingga tidak bertambah. Ada (yang buka) toko, toko itu saja yang dipertahankan," kata JK.
JK pun mengajak Majelis Ulama Indonesia (MUI) mampu untuk menggerakkan umat muslim agar bisa berkembang pada jalur profesional.
"Jadi tidak ada cara lain mereka harus masuk profesional. Itu yang harus kita dorong. Jadi tugas utama, kita, MUI ialah memberikan semangat kepada umat. Yang paling penting ialah bagaimana menumbuhkan orang semangat berusaha," tuturnya. (mkj/rvk)