Ini Alasan Raja Salman Gandeng Perusahaan-Perusahaan AS

Ini Alasan Raja Salman Gandeng Perusahaan-Perusahaan AS

Muhammad Idris - detikFinance
Minggu, 21 Mei 2017 16:33 WIB
Ini Alasan Raja Salman Gandeng Perusahaan-Perusahaan AS
Foto: Reuters
Jakarta - Pemerintah Arab Saudi mengumumkan kesepakatan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat senilai lebih dari US$ 55 miliar atau Rp 731,5 triliun (kurs Rp 13.300). Kesepakatan ini ditandatangani bersamaan dengan kunjungan Presiden AS, Donald Trump, ke Negara Teluk itu.

Dalam kesempatan terpisah, Trump juga menandatangani kesepakatan hampir US$ 110 miliar terkait sektor pertahanan dengan Saudi. Arab Saudi selama ini dikenal sebagai sekutu terdekat AS di Timur Tengah.

Meski investasinya berasal dari Saudi, kerja sama dengan perusahaan-perusahaan AS dapat jadi stimulan menumbuhkan sektor swasta di Negara Petro Dollar itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Menarik lebih banyak investasi asing ke negaranya sangat vital bagi Arab Saudi yang memiliki visi terbebas dari ketergantungan minyak. Pemerintahan Raja Salman bin Abdul Aziz itu ingin menumbuhkan sektor swasta menjadi 65% dari GDP di 2030, naik dari kontribusi swasta saat ini yang hanya 40%.

"Kita ingin mendorong investasi lokal, juga mendorong investasi asing langsung. Dan kunjungan CEO (perusahaan AS) jelas itu merupakan salah satu cara untuk menunjukkan kesempatan di Arab Saudi. Kita memiliki banyak sekali peluang yang bisa dikerja samakan dengan perusahaan-perusahaan AS," kata Menteri Keuangan Arab Saudi, Mohammed Al Jadaan sebagaimana dikutip dari CNN, Minggu (21/5/2017).

Baru-baru ini, Kerajaan Arab Saudi baru saja mengumumkan rencana pembangunan industri manufaktur di sektor militer yang akan berkontribusi 14 miliar riyal atau US$ 3,7 miliar untuk GDP tahun 2030.

Pemerintah Arab Saudi menyatakan tak ingin lagi terus bergantung pada penerimaan dari minyak. Mereka menegaskan tak akan lagi terganggu jika harga minyak jatuh di level US$ 40 per barel di 2020.

"Kita tak peduli apakah harga minyak US$ 40, US$ 45, US$ 50, atau US$ 55 di saat itu. Karena kami akan melakukan perubahan siginifikan untuk terbebas dari harga minyak," kata Jadaan.

Ambisi Arab Saudi untuk tak lagi bergantung pada penerimaan minyak ini terjadi setelah tahun lalu harga minyak anjlok hingga US$ 26 per barel, dan membuat lubang cukup menganga di dalam anggaran. Pemerintah Saudi terpaksa memotong subsidi, menerbitkan pajak baru, dan melakukan pinjaman miliaran dolar untuk menyeimbangkan APBN.

"Kita wujudkan rencana kita bebas dari ketergantungan pada minyak selama 40 tahun atau 50 tahun. Harapannya di tahun 2030, saya tak peduli jika harga minyak nol sekalipun," katanya lagi.

Saat Trump masih mengejar kesepakatan lebih detail untuk investasi yang akan dikucurkan Arab Saudi, secara bersamaan mengemuka pula rencana Saudi Aramco melenggang ke pasar modal untuk menjual sebagian sahamnya. Rencananya, perusahaan minyak raksasa ini akan menawarkan 5% sahamnya dan diprediksi akan menjadi penawaran saham terbesar di dunia. (idr/dna)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads