Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, mengungkapkan kebijakan tersebut akan membuat harga tebu di tingkat petani tertekan. Saat ini saja, dalam beberapa lelang, gula petani ditawar di harga Rp 10.200-11.500/kg.
"Kemarin gula ditawar murah, di PG Pakis Baru di Pati ditawar Rp 11.500/kg, di PG Trangkil ditawar Rp 10.200/kg, alasannya karena harga paling tinggi Rp 12.500/kg. Sementara BEP (balik modal) kita 10.600-11.600/kg," jelas Sumitro kepada detikFinance, Kamis (25/5/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu BEP Rp 11.600/kg saja dengan catatan rendemennya 7 sampai 7,7. Sekarang rendemen di kita rata-rata hanya 6. Bagaimana petani untung, akhirnya malas tanam tebu, impornya semakin banyak," kata Sumitro.
Sebagai informasi, rendemen tebu sendiri adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10%, artinya dari 100 kg tebu yang digilingkan di pabrik gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg.
Lanjut dia, kebijakan menekan harga gula dengan harga tertinggi Rp 12.500/kg bisa mematikan petani tebu. Saat ini saja, lahan tebu semakin menyusut lantaran banyak petani tebu yang beralih ke tanaman lain. Di sisi lain, harga gula sebenarnya tak terlalu berdampak signifikan pada konsumen.
"Beli gula 1 kg saja kadang habis 1 bulan. Taruhlan satu bulan satu rumah habis gula 2 kg, artinya kalau naik Rp 2.000/kg, satu bulan hanya ada kenaikan konsumsi Rp 4.000, tapi itu bisa membantu petani. Bandingkan sama orang beli beras atau daging, karena konsumsi gula ini tak besar," ucap Sumitro. (idr/mca)