Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Eko Djalmo Asmadi, mengungkapkan selama ini praktik penggunaan bom ikan masih sangat marak. Selain peledakan, aktivitas lainnya yang cukup meresahkan yakni penggunaan racun ikan oleh sejumlah nelayan.
"Karena penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bom seberat 250 gram akan menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30 m2. Bagaimana kalau beratnya 2 kg, atau 2.000 gram, berapa kerusakannya," ucap Eko ditemui di kantor KKP, Jakarta, Rabu (7/6/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Dia kan kelompok, bisa 4 tim., satu tim 2-3 orang pakai perahu kecil yang cuam bawa pancing. Nanti ada tim lagi bawa peledak, dan saling berkomunikasi dengan handphone atau handy talkie. Begitu tahu ada aparat mengikuti, langsung hilang," ujar Eko.
Selama ini, lanjut dia, penggunaan bom ikan dilakukan oleh nelayan lokal. Selain itu, nelayan yang tertangkap umumnya nelayan kecil.Namun, diduga ada pemain besar yang membekingi nelayan kecil tersebut.
Sementara itu, Direktur Pengawasan dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan KKP, Rudi, mengungkapkan tahun lalu pihaknya bersama dengan Polair berhasil mengungkap 33 kasus penggunaan bom ikan. Sementara tahun ini, KKP baru bisa mengusut 5 kasus aktivitas peledakan di laut.
"Kejadiannya banyak, hanya yang bisa kami deteksi dan kita tangkap itu 33 kejadian. Kalau tahun ini sejak Januari sampai sekarang baru 5 kejadian. Karena memang sudah, modusnya sangat rapi," kata Rudi.
Beberapa wilayah yang diidentifikasi banyak aktivitas pengeboman ikan antara lain perairan Lombok Timur, Belitung, Lampung, Karimun Jawa, Bawean, Kepulauan Spermonde, Flores Timur, Alor, dan Pangkep.
Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, atau menggunakan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Apabila diketahui dan didapatkan cukup bukti terdapat oknum masyarakat yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar. (idr/hns)